Rabu, 18 Mei 2011

G30S PKI menurut beberapa versi

Ratnasari Dewi Soekarno

RATNASARI Dewi Soekarno memperlihatkan dokumen yang dikirim ke Amerika Serikat dalam jumpa persnya di Jakarta, kemarin. Dokumen tersebut menyebutkan tentang adanya percobaan kudeta terhadap Presiden pertama RI Soekarno.* (DUDI SUGANDI/”PR”)

MISTERI Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) kini mulai terungkap. Ini setidaknya menurut versi Ratna Sari Dewi, istri almarhum Presiden Soekarno, yang menyingkapkannya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (7/10). Dengan tutur bahasa Indonesia yang kurang lancar, Dewi memaparkan secara runtut kejadian sekitar tragedi berdarah yang membenamkan bangsa Indonesia dalam kepedihan berkepanjangan itu. “G30S/PKI bukanlah suatu kup atau kudeta. Kudeta terjadi justru tanggal 11 Maret dengan Surat Perintah 11 Maret yang menghebohkan itu,” kata Dewi dalam konferensi pers di kediamannya yang asri di Jl. Widya Chandra IX No. 10. Jumpa pers ini dihadiri ratusan wartawan dari dalam dan luar negeri. Maka meluncurlah cerita dari bibir mungil wanita yang masih cantik di usianya yang mendekati kepala enam ini. Dengan sangat ekspresif, ia bahkan memperagakan saat-saat akhir Bung Karno (BK) ketika dibawa dari Wisma Yaso ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). “Sebelum 30 September, Bapak (Bung Karno-BK, red) memanggil Jenderal A. Yani untuk menanyakan tentang adanya Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta dan membunuhnya,” kata Dewi mengutip ucapan suaminya. Saat itu, Pak Yani menyatakan bahwa dirinya sudah tahu tentang hal itu, dan nama-nama para jenderal itu sudah ada di tangannya. “Jadi Bapak tidak usah khawatir,” kata A. Yani. Saat itu, sebetulnya tidak ada yang memberitahu anggota pasukan Tjakrabirawa, pasukan pengawal presiden, tentang rencana makar terhadap panglima revolusi ini. Entah mengapa, pentolan Tjakra seperti Letkol Untung, Kolonel Latief dan Supardjo mengetahuinya. “Mungkin ada yang memberi tahu mereka,” ucap Dewi mengutarakan prediksinya. Sebagai perwira muda yang sangat loyal kepada BK, didorong kekhawatiran akan keselamatan BK, pasukan Tjakra ini bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya. Sebab kalau lapor kepada atasannya, diperlukan bukti-bukti padahal mereka hanya punya waktu sekitar empat hari lagi, karena kudeta akan dilakukan tanggal 5 Oktober 1965 saat ulang tahun ABRI. “Lebih baik kami interogasi saja jenderal-jenderal itu,” kata Dewi tentang niat para perwira muda di kesatuan Tjakra ini. Hal ini sebenarnya tidak direncanakan dengan baik, karena para perwira muda ini didorong oleh suasana emosi dan darah mudanya yang memang panas. Guna menghindari kemungkinan yang lebih buruk, Kol. Latief menemui Pak Harto di RSPAD dan membicarakan tentang rencana dewan jenderal. Juga diungkapkan kekhawatirannya terhadap keselamatan BK dan anggotanya serta rencana menginterogasi anggota dewan jenderal. “Kalau ada apa-apa, Pak Harto bisa mem-back up,” kata Dewi. Namun permintaan itu ditanggapi dingin oleh Pak Harto yang saat itu menjabat Pangkostrad. Sebetulnya, kalau mau Pak Harto bisa mencegah kejadian ini. Namun karena tidak hirau, Pak Harto membiarkan pasukan Tjakra bertindak. “Tjakra bermaksud menyelamatkan BK. Masudnya baik tapi caranya kasar. Saya bisa mengerti karena darah mudanya,” tutur Dewi. Untuk menginterogasi para jenderal itu, Letkol Untung tak mungkin menyuruh prajurit muda dengan pangkat rendah. Mereka ini hanya bertugas menjemput para jenderal untuk diinterogasi. “Para prajurit ini tak mungkin berani memanggil Pak Yani yang jenderal untuk menghadap. Karena itu, mereka meminta para jenderal untuk menghadap BK dan tidak ada sama sekali rencana untuk membunuh mereka,” jelas Dewi yang sempat menghebohkan masyarakat Indonesia lewat buku yang menampilkan seluruh tubuhnya, Madame D’syuga. Namun karena mereka masih muda, kerap kali keluar kata kasar yang tidak layak ditujukan kepada jenderal sehingga mereka marah. Contohnya Jenderal Yani yang menampar seorang prajurit dan akhirnya ditembak di tempat, sebagaimana terungkap dalam film G30S/PKI arahan Arifin C. Noer. “Jadi gerakan itu bukanlah orang PKI melainkan orang-orang militer. Ini merupakan insiden yang sangat bodoh, idiot, cruel dan harus dicela,” kata mantan geisha di Jepang ini. Menurut Dewi, usai gerakan ini Soeharto langsung menyatakan bahwa pelakunya adalah PKI. Itu diutarakan lewat RRI sehingga membentuk opini masyarakat tentang jahatnya PKI. Saat HUT TNI, Soeharto telah berhasil menguasai TNI. “Mengapa rencana kudeta itu tanggal 5 Oktober? Karena saat itu semua maklum bila tentara keluar barak menuju istana untuk memperlihatkan keterampilannya di hadapan presiden. Saat itu ada show of tank. Ini persis dilakuan CIA ketika menjatuhkan Presiden Mesir Anwar Sadat yang meninggal saat defile angkatan perangnya,” kata Dewi yang saat konferensi pers mengenakan batik tulis ‘lusuh’ warna cokelat muda ini.

**

TENTANG jatuhnya BK, Dewi sangat yakin bahwa BK Jatuh atas keterlibatan CIA. Untuk memperkuat pernyataannya itu, Dewi memperlihatkan 10 fotokopi dari tiga surat penting yang disebutnya sebagai bukti otentik keterlibatan CIA dan AS.

Bukti pertama adalah dokumen tentang pertemuan salah seorang jenderal dengan dubes AS waktu itu untuk membicarakan kudeta tanggal 5 Oktober 1965.

Dokumen kedua adalah dokumen Gillchrist, orang kedua di Kedubes AS yang menyebutkan tentang rencana Marshal Green menjadi Dubes AS di Indonesia. Orang terakhir ini adalah pakar kudeta CIA yang terlibat dalam kudeta di Korea dan Hongkong. Saat itu sebetulnya BK sudah diingatkan tentang kemungkinan adanya rencana CIA di Indonesia sehubungan dengan kedatangan Green ini. “Tapi kalau saya tolak, berarti saya takut pada AS,” kata BK, seperti dikutip Dewi, tentang alasannya menerima Green.

Dokumen terakhir adalah surat dari BK untuk Dewi yang menyatakan penderitaannya karena tidak boleh dijenguk anak dan istrinya. Juga tentang kondisi terakhir BK.

“Saat saya datang, kondisi Bapak sangat mengenaskan. Keesokan harinya Bapak meninggal. Ketika saya konfirmasikan kepada dokter di AS dan Prancis, ternyata terungkap bahwa ada indikasi Bapak dibunuh dengan cara diberi obat over dosis,” katanya .(Refa/”PR”)***

SOEHARTO

Tatkala Bung Karno berkunjung ke Semarang, Mayjen Soeharto men-jabat Panglima Kodam Diponegoro. Pak Harto mencurahkan isi hatinya tentang PKI. Sembari berjalan ia katakan kepada Bung Karno bahwa ia melihat semakin hari PKI semakin menonjol. Tanyanya: “Apakah itu tidak berbahaya?” Seperti dalam nada marah, Bung Karno menjawab: “PKI mesti dimasukkan ke dalam Pancasila. Dan itu urusan saya.”

Meski pendapatnya tidak diterima, Soeharto lega karena telah

menumpahkan sesuatu yang sejak lama sangat mengganjal

perasaannya. Mayjen Soeharto tidak lama memegang komando Kodam Diponegoro. Orang-orang PKI menyebarkan isu bahwa ia melakukan korupsi. Isu ini sampai ke telinga Bung Karno. Mayjen Soeharto ditarik dan disekolahkan di Seskoad, Bandung. Selepas Seskoad, tanggal 1 Mei 1963, Mayjen Soeharto diangkat menjadi Panglima Komando Mandala, Wakil Panglima I Kolaga (1964), kemudian Pangkostrad dengan pangkat Letnan Jenderal (1965).

Situasi politik di dalam negeri tambah tidak menentu. PKI menggusur partai-partai politik lain dan ormas-ormas dengan menyatakan dirinya yang paling revolusioner, sedangkan lawan-lawannya dicap sebagai “kontra revolusi”. PKI terus mengipas Bung Karno. Dan orang-orang yang ada di sekitar Presiden tidak ada yang berani menyampaikan pendapat yang berlainan. Gambaran peta politik waktu itu sudah jelas: adanya perselisihan yang tajam antara AD, golongan Islam dan nasional yang anti komunis dengan PKI dan rekan-rekannya, di pihak lain.

Tanggal 16 September 1963, terbentuk negara Federasi Malaysia. Ini menimbulkan kemarahan besar pada Bung Karno. Pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaya, 17 September 1963. Bung Karno menilai pembentukan Malaysia melanggar kesepakatan antara dirinya dan PM Tengku Abdul Rachman di Tokyo, Juni 1963. Malaysia dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris. Bung Karno menunjukkan kekesalannya, dengan menyebutkan di depan umum, bahwa “Pemerintah Indonesia telah dikentuti.”

Di New York, para diplomat Indonesia bekerja ekstra keras untuk menggagalkan masuknya Malaysia ke dalam Dewan Keamanan PBB. Ada ultimatum dari Jakarta, “Jika DK-PBB menerima Malaysia, Indonesia akan meninggalkan PBB.” Ternyata Malaysia diterima. Tanggal 1 Januari 1965, Menlu Subandrio dengan resmi menyatakan sikap Indonesia keluar dari PBB.

Bung Karno menyerukan Komando Pengganyangan Malaysia, dikenal dengan Dwi-Komando-Rakyat, atau Dwikora, dalam apel besar Sukarelawan di Jakarta, 3 Mei 1964. Dwikora menetapkan: perhebat ketahanan Revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Serawak untuk menggagalkan negara boneka Malaysia. Situasi terasa amat berbahaya. Suasana konfrontasi dengan Malaysia makin panas.

Tanggal 2 September 1964, dibentuk Komando Siaga (KOGA), panglimanya Laaksamana (U) Omar Dhani. Wakil panglima, Laksamana (L) Mulyadi dan Brigjen. A. Wiranatakusumah. Kepala stafnya Komodor (U) Leo Watimena. Tanggal 28 Februari 1965, Presiden Soekarno mengubah KOGA dengan Komando Mandala Siaga (KOLAGA). Panglimanya tetap Omar Dhani, Letjen Soeharto, Wakil Panglima I, Mulyadi Wakil Panglima II. Kepala stafnya tetap Laksda Leo Watimena dan wakil Kepala Staf Brigjen. A. Satari.

Sementara itu PKI terus meningkatkan agitasinya. Di pelbagai tempat terjadi keributan. Di Kediri, seorang Kiai dan Imam dipukuli oleh orang-orang PKI. Di Bandar Betsy, Sumatera Utara, Peltu. Sudjono dikeroyok secara beramai-ramai oleh orang-orang PKI sampai meninggal. Bung Karno mendapat masukan agar Indonesia lebih siaga. Pelbagai informasi di antaranya datang dari PKI yang sedang giat-giatnya menjalankan taktik, rencana pembentukan Angkatan V yang ditolak Angkatan Darat.

PKI menuntut Nasakomisasi di segala bidang. Menuntut buruh dan tani dipersenjatai. Asal muasalnya, PM China Chou En Lai menyarankan PKI untuk membentuk Angkatan V di luar Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Kepolisian. Untuk pembentukan Angkatan Kelima, Chou En Lai menjanjikan 100.000 pucuk senjata ringan secara cuma-cuma. Pimpinan AD dengan tegas menolak tuntutan PKI. Juga pimpinan AL dan AK, kecuali AU, Omar Dhani.

Lalu PKI mengembuskan isu tentang “Dewan Jenderal” dengan disiarkannya apa yang disebut “Dokumen Ginchrist”. Ginchrist adalah Duta Besar Inggris yang waktu itu bertugas di Indonesia. Dan dokumen yang memakai namanya itu dikatakan ditemukan di rumah Bill Palmer, di Puncak, sewaktu rumah importir film-film Amerika itu, diobrak-abrik Pemuda Rakyat.

Pimpinan PKI DN Aidit yang mengembuskan isu “Dewan Jenderal”, dibicarakan dengan Subandrio yang merangkap ketua BPI (Badan Pusat Intelijen). Isu itu sampai ke telinga Presiden Soekarno. Bung Karno kemudian menanyakan kepada Pangad Letjen. A. Yani: “Apa benar ada Dewan Jenderal dalam Angkatan Darat, antara lain, untuk menilai kebijaksanaan yang telah saya gariskan?” Jenderal Yani menjawab, “Tidak benar, Pak. Yang ada ialah “Wanjakti” (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi). Dewan ini mengurus jabatan dan kepangkatan perwira-perwira Tinggi Angkatan Darat.”

Lalu isu itu dikembangkan lagi oleh Aidit, dengan menyebutkan,”ada jenderal-jenderal yang tidak loyal pada Pemimpin Besar Revolusi. Dewan Jenderal akan mengadakan coup.” Isu itu berkembang sekitar Mei, Juni dan Juli, mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan September 1965.

Tanggal 4 Agustus 1965, Presiden Soekarno jatuh pingsan dan muntah-muntah. Rupanya kejadian ini menimbulkan pikiran yang mendesak pada Aidit yang baru kembali dari Moskow dan Peking untuk mengadakan tindakan, yakni merebut kekuasaan. Tampaknya ia berpikir, lebih baik mendahului daripada didahului oleh AD. Maka, pada dinihari 1 Oktober 1965, terjadilah malapetaka di negeri ini, manifestasi dari pikiran-pikiran mereka yang jahat.

Dinihari itu terjadi penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal AD. Pak Harto mendengar siaran G-30-S/PKI melalui RRI. Selang seperempat jam usai siaran, Pak Harto menerima Letkol Ali Murtopo dan Brigjen Sabirin Mochtar. Mereka diperintahkan menghubungi Komandan Batalyon yang berada di sekitar Monas, agar menghadap kepada Panglima Kostrad.

Letkol Ali Murtopo dan Brigjen Sabirin Mochtar kembali menghadap dan bercerita, bahwa Danyon 454 dan 530 tidak ada di tempat, mereka sedang ke Istana. Pak Harto tidak puas. Ia minta lagi keduanya agar menyuruh Wadanyon 454 dan 530 menghadap. Selang setengah jam Wadanyon 454 Kapten Kuntjoro dan Wadanyon 530 Kapten Suradi datang di kamar kerjanya. Pak Harto bertanya: “Tugasmu di sini apa?” Hampir berbarengan mereka menjawab, “mengamankan Presiden, karena akan ada kup dari Dewan Jenderal.”

“Itu semua tidak betul,” jawab Pak Harto sambil menatap kedua kapten itu. “Kamu tahu, Presiden Soekarno saat ini tidak ada di Istana. Coba kamu cek sendiri ke Istana kalau tidak percaya. Lagi pula Dewan Jenderal itu tidak ada, yang ada Wanjakti, saya sendiri anggotanya. Saya mengetahui betul, gerakan Untung (Letkol) pasti didalangi oleh PKI.” Setelah diam, Pak Harto melanjutkan ucapannya: “Ini merupakan pemberontakan, jadi, saya memutuskan untuk menghadapinya.” Langkah pertamanya, menyelamatkan dua batalyon yang dilibatkan dalam petualangan Letkol Untung, pemimpin Dewan Revolusi Indonesia.

Tanggal 6 Oktober 1965, Presiden Soekarno memanggil kabinet untuk bersidang di Istana Bogor. Pak Harto juga dipanggil untuk memberikan laporan mengenai situasi. Hadir juga Lukman dan Nyoto dari PKI, Menlu Subandrio dan dr. Leimena. Semestinya suasana murung karena baru kemarin para Pahlawan Revolusi dimakamkan. Yang terjadi malah suasana gelak dan tawa. Pak Harto mendapat kesempatan memberi laporan bahwa orang-orang PKI pasti punya hubungan dengan penculikan dan pembunuhan tersebut.

Nyoto menyangkal tanggungjawab PKI terhadap kudeta yang gagal itu. Malahan dia menuduh dilakukan oleh “Dewan Jenderal”. Presiden Soekarno dalam kesempatan itu mengarahkan telunjuknya kepada Nyoto, dan berkata, “Nyoto, kau tolol, mengobarkan peristiwa yang terkutuk itu. Peristiwa ini menghancurkan nama komunis. Itu satu tindakan kekanak-kanakan.”

FITRI AMANDA

Berikut tulisan seseorang yang berhasil kami dapat secara tidak sengaja melalui internet, namun sayang sekali tulisan yang katanya terdiri dari 2 bagian ini tidak kami temukan bagian ke 2 tersebut, namun membaca tulisan bag pertama saja sudah terlihat bahwa peristiwa ini penuh dengan kontroversi, siapa yang benar sebenarnya ? wallahualam, anggap saja ini sebagai bagian dari pelajaran kalian disekolah khususnya Sejarah (M. SAHLAN ATTAZKIYAH)

Berikut Penuturannya :

Oleh: Sulangkang Suwalu

Sudah hampir 2 bulan Soeharto dipaksa berhenti sebagai presiden oleh kekuatan mahasiswa dan rakyat. Dengan demikian gagallah rencananya untuk terus menjadi Presiden sampai dengan 2003. Sementara itu 21/2 bulan lagi adalah hari genapnya 33 tahun meletusnya G30S.

Ki Oetomo Darmadi (Swadesi, No 1541/Th XXX/Juli 1998) mengemukakan, "Sudah 33 tahun tragedi nasional, apa yang disebut G30S menjadi ganjalan sejarah. Sudah seyogianya di era reformasi sekarang misteri tersebut disingkap secara transparan, jujur terbuka".

"Mengapa, ini penting sebagai pelajaran sejarah, betapa dahsyatnya akibat-akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Antara lain bangsa ini terbelah menjadi dua: Orde Lama dan Orde Baru, dengan implikasi luas pada sektor kehidupan sosial, politik, ekonomi dan pertahanan keamanan. Terlebih-lebih jika ditilik dari hak dasar azasi manusia (HAM) hampir seluruh Deklarasi HAM PBB (10 Des 1948) dilanggar. Pancasila hanya dijadikan lips-service, dan hampir semua hak warga sipil yang termaktub dalam batang tubuh UUD 45 dinodai. Terlalu banyak lembar catatan keganasan rezim Soeharto selama 32 tahun berkuasa, sehingga ada yang menjuluki 'drakula', pembunuh berdarah dingin den sebagainya. Tidak mengherankan jika Indonesia ditempatkan sebagai pelanggar HAM terberat, sebab korban penubunuhan massal peristiwa G.30-S/PKI 1965 saja melampaui korban Perang Dunia II."

Sesungguhnya sudah lama dituntut supaya misteri G30S yang sesungguhnya diungkap secara terbuka, jujur dan adil. Hanya saJa tuntutan semacam itu di masa Soeharto berkuasa suatu yang mustahil bisa dilaksanakan. Sebab dengan membuka misterinya, akan terbuka lah bahwa G3OS yang sesungguhnya ialah G30S/Soeharto, bukan G30S/PKI. Mari kita telusuri!

HUBUNGAN SOEHARTO DENGAN G30S

Hubungan Soeharto, terutama dengan Kolonel Latief, seorang tokoh G3OS, begitu akrab dan mesranya. Lepas dari persoalan apakah hubungan yang erat itu karena Soeharto yang menjadi bagian atau pimpinan G30S yang tersembunyi, atau karena kelihaian Soeharto memanfaatkan tokoh-tokoh G30S untuk mencapai tujuannya menjadi orang pertama di Indonesia.

Hubungannya itu dapat diketahui, ketika pada 28 September 1965, Kolonel Latief bersama isterinya berkunjung ke rumah Jenderal Soeharto di jalan H. Agus Salim. Menurut Kolonel Latief (Kolonel Latief: "Pembelaan sidang Mahmilti II Jawa Bagian Barat" 1978) maksud kunjungannya ialah guna menanyakan adanya info Dewan Jenderal, sekaligus melaporkan kepada beliau. "Oleh beliau justru memberitahukan kepada saya, bahwa sehari sebelum saya datang, ada seorang bekas anak buahnya berasal dari Yogyakarta, bernama Soebagiyo, memberitahukan tentang adanya info Dewan Jenderal AD yang akan mengadakan coup d'etat terhadap kekuasaan pemerintahan Presiden Soekarno. Tanggapan beliau akan diadakan penyelidikan".

Seterusnya Kolonel Latief mengemukakan bahwa 30 September 1965 (malam), ia berkunjung ke RSPAD untuk menjumpai Jenderal Soeharto, yang sedang menunggui putranya yang tersiram sup panas. Sambil menjenguk putrandanya itu, juga untuk melaporkan bahwa dini hari l Oktober l965 G30S akan melancarkan operasinya guna menggagalkan rencana kudeta yang hendak dijalankan Dewan Jenderal. Kunjungannya ke Jenderal Soeharto di RSPAD tersebut, adalah merupakan hasil kesepakatan dengan Kolonel Untung dan Brigjen Supardjo.

Seperti diketahui menurut Brigjen Supardjo (Tempo, 1 Oktober 1988) tanggal 16 September 1965 telah terbentuk gerakan tsb, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung. Kolonel Latief semula berkeberatan Letkol Untung menjadi pimpinannya dan meminta supaya gerakan dipimpin seorang jenderal. Tetapi karena Kamaruzzaman (Syam) memtahankan supaya tetap Untung, karena ia pengawal presiden, maka akhirnya Letnan Kolonel Untung yang memimpinnya.

Kamaruzzaman ini menurut Wertheim (Wertheim: "Sejarah tahun 1965 yang tersembunyi" dalam Suplemen Arah, No 1 th 1990) adalah "seorang double agent". Yang dimaksud "double agent" Wertheim ialah agennya Aidit (dalam Biro Khusus) dan agen Soeharto (yang diuntungkan oleh Peristiwa G30S).

Sesungguhnya G30S tak akan bisa melancarkan operasi militernya dini hari l Oktober 1965 itu, sekiranya Jenderal Soeharto mencegahnya dan bukan membiarkannya. Tampaknya karena Soeharto berkepentingan agar Men/Pangad A. Yani terbunuh, maka dengan diam-diam direstuinya operasi militer G30S yang hendak dilancarkan itu. Jika Soeharto tidak berkepentingan terbunuhnya A. Yani, tentu rencana operasi G30S itu akan dicegahnya, atau langsung saja Kolonel Latief ditangkapnya, atau rencana G30S itu dilaporkannya kepada atasannya, misalnya kepada Jenderal Nasution. Dengan demikian operasi G30S itu gagal.

Bagi Kolonel Latief dengan tidak ada pencegahan dari Jenderal Soeharto, berarti Jenderal Soeharto merestuinya dan operasi G30S dini hari l Oktober dilaksanakannya.

Soeharto merestui operasi G30S itu secara diam-diam, karena ia mengetahui ada sebuah konsensus dalam TNI-AD bahwa bila Pangad berhalangan, otomatis Panglima Kostrad yang menjadi penggantinya. Dan Panglima Kostrad ketika itu adalah dirinya sendiri.

MALING BERTERIAK MALING

Paginya (pukul 6.30), dengan dalih ia mendapat informasi dari tetangganya, Mashuri, bahwa Jendral A. Yani dan beberapa jenderal lain telah terbunuh, Soeharto dengan Toyotanya, sendirian (tanpa pengawal) berahgkat ke Kostrad. Melalui Kebun Sirih, Merdeka Selatan. Soeharto sudah tahu benar siapa sasaran G30S.

Sejalan dengan laporan yang disampaikan Kolonel Latief kepada Jenderal Soeharto di RSPAD malam itu, maka daerah, dimana markas Kostrad terletak, tidak diawasi atau dijaga pasukan G30S. Yang dijaga hanya daerah lain saja di Merdeka Selatan. Ini menjadi indikasi adanya saling pengertian antara G30S dengan Panglima Kostrad. Jika tidak ada saling pengertian, tentu daerah di mana Markas Kostrad berada juga akan dijaga pasukan G30S.

Menurut Yoga Sugama (Yoga Sugama: "Memori Jenderal Yoga" [hal: 148-153]) pada pagi 1 Oktober 1965 itu, dirinyalah yang pertama tiba di Kostrad. Kepada Ali Murtopo, Yoga Sugama memastikan bahwa yang melancarkan gerakan penculikan dini hari tersebut, adalah anasir-anasir PKI. Ali Murtopo tidak begitu saja mau menerima keterangan Yoga Sugama tersebut.

Setelah ada siaran RRI pukul 7.20, yang mengatakan telah terbentuk Dewan Revolusi yang diketuai Kolonel Untung, maka Yoga Sugama memperkuat kesimpulannya di atas. Sebab Yoga Sugama kenal Untung sebagai salah seorang perwira TNI-AD yang berhaluan kiri. Untung pernah menjadi anak buahnya ketika RTP II bertugas menumpas PRRI di Sumatera Barat.

Jenderal Soeharto juga bertanya kepada Yoga Sugama, "Apa kira-kira Presiden Soekarno terlibat dalam gerakan ini." Yoga Sugama dengan tegas menjawab "Ya". Tuduhan Yoga Sugama bahwa dibelakang gerakan itu adalah anasir-anasir PKI dan Presiden Soekarno terlibat, tentu saja sangat membesarkan hati Soeharto. Karena dengan demikian rencananya untuk menghancurkan PKI dan menggulingkan Presiden Soekarno mendapat dukungan dari bawahannya.

Pada pukul jam 9.00 pagi itu Jenderal Soeharto (Tempo, 1 Oktober 1998) memberikan briefing. Dengan tegas ia mengatakan: "Saya banyak mengenal Untung sejak dulu. Dan Untung sendiri sejak 1945 merupakan anak didik tokoh PKI Pak Alimin". Ini tentu bualan Soeharto saja. Sebab Pak Alimin baru kembali ke Indonesia pertengahan tahun 1946. Bagaimana ia mendidik Untung sejak tahun 1945, padahal ketika itu Pak Alimin masih berada di daratan Tiongkok.

Tidak lah kebetulan Kamaruzzaman mempertahankan Kolonel Untung menjadi pimpinan G30S. Sudah diperhitungkannya, bahwa suatu ketika nama Untung tsb akan dapat digunakan sebagai senjata oleh Soeharto untuk menghancurkan PKI. Kamaruzzaman memang seorang misterius. Secara formal dia adalah orangnya Aidit (dalam BC). Sedang sesungguhnya dia adalah di pihak lawannya Aidit, dia bertugas menghancurkan PKI dari dalam.

Untuk itu lah maka Kamaruzzaman, seperti dikatakan Manai Sophian (Manai Sophiaan ("Kehormatan bagi yang berhak") membuat ketentuan bahwa persoalan yang akan disampaikan kepada Aidit, harus melalui dirinya. Banyak hal yang penting yang tak disampaikannya pada Aidit. Akibatnya setelah gerakan dimulai terjadilah kesimpangsiuran, penyimpangan yang merugikan Aidit/PKI.

Sesuai dengan rencananya, maka Soeharto (G.30-S pemberontakan PKI", Sekneg, 1994, hal 146, 47) pada 1 Oktober tersebut tanpa sepengetahuan, apalagi seizin Presiden/Pangti Soekarno mengangkat dirinya menjadi pimpinan TNI-AD. Padahal jabatan Panglima suatu angkatan, adalah jabatan politik. Itu merupakan hak prerogatif Presiden untuk menentukan siapa orangnya.

Dikesampingkannya hak prerogatif Presiden/Pangti ABRI tersebut, diakui Soeharto dalam 4 petunjuk kepada Presiden Soekarno yang harus disampaikan oleh Kolonel KKO Bambang Widjanarko yang berkunjung ke Kostrad 1 Oktober 1965 itu. Kedatangan Bambang Widjanarko adalah untuk memanggil Jenderal Pranoto Reksosamudro yang telah diangkat menjadi caretaker Menpangad sementara oleh Presiden, untuk datang ke Halim menemui Presiden Soekarno. Usaha Bambang Widjanarko untuk meminta Jenderal Pranoto Reksosamudro ke Halim itu dihalangi Soeharto. Empat petunjuk tersebut ialah:

1. Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro dan Mayjen TNI Umar Wirahadikusumah tidak dapat menghadap Presiden Soekarno untuk tidak menambah korban. (Ini berarti Soeharto menuduh Presiden Soekarno lah yang bertanggungjawab atas penculikan sejumlah jenderal dini hari 1 Oktober tersebut. Sesuai dengan jawaban Yoga Sugama kepadanya tentang keterlibatan Presiden Soekarno dalam G30S. Karena Ketua Dewan Revolusi adalah Kolonel Untung, pasukan pengawal Presiden Soekarno)

2. Mayjen TNI Soeharto untuk sementara telah mengambil oper pimpinan TNI-AD berdasarkan perintah Tetap Men/Pangad. (Ini berarti perintah tetap Men/Pangad, maksudnya konsensus dalam TNI-AD lebih tinggi dari hak prerogatif presiden dalam menentukan siapa yang harus memangku jabatan panglima suatu angkatan).

3. Diharapkan agar perintah-perintah Presiden Soekarno selanjutnya disampaikan melalui Mayjen TNI Soeharto. (Ini berarti Mayien TNI Soeharto yang mengatur Presiden Soekarno untuk berbuat ini atau itu, meski pun dibungkus dengan kata-kata "diharapkan". Semestinya Presiden yang mengatur Mayjen Soeharto, bukan sebaliknya. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI).

4. Mayjen TNI Soeharto memberi petunjuk kepada Kolonel KKO Bambang Widjanarko agar berusaha membawa Presiden Soekarno keluar dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, karena pasukan yang berada di bawah komando Kostrad akan membersihkan pasukan-pasukan pendukung G3OS yang berada di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah sebelum tengah malam 1 Oktober 1965. (Ini berarti Soeharto "memerintahkan" Soekarno meninggalkan Pangkalan Udara HPK, karena Halim akan diserbu. Padahal sebelumnya Presiden Soekarno telah memerintahkan kepada Brigjen Supardjo supaya menghentikan operasi militer G30S dan jangan bergerak tanpa perintahnya. Tampaknya perintah lisan Presiden/Pangti Soekarno demikian, dianggap tidak berlaku bagi dirinya. Malahan situasi itu digunakannya untuk "memukul" pasukan G30S.

Empat petunjuk Mayjen Soeharto kepada Presiden Soekarno melalui Kolonel KKO Bambang Widjanarko menunjukkan: dengan menggunakan G30S, Jenderal Soeharto mulai l Oktober 1965 secara de facto menjadi penguasa di Indonesia. Sebagai langkah awal untuk memegang kekuasaan de jure di Indonesia nantinya. Ya, maling berteriak maling. Dirinya yang kudeta, PKI yang dituduhnya melakukan pemberontakan.

BEN ANDERSON

Orang sering menjadi terkesima ketika membongkar-bongkar gudang yang bertimbun dan berdebu. Sementara iseng membolak-balik ratusan halaman fotokopi rekaman stenografis dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan Mahmilub, saya temukan dokumen-dokumen yang saya terjemahkan di bawah ini, yang aslinya merupakan lampiran-lampiran pada berkas sidang pengadilan itu.

Dokumen itu adalah laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima orang ahli kedokteran forensik, yang telah memeriksa mayat-mayat enam orang jendral (Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan), dan seorang letnan muda (Tendean) yang terbunuh pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965.

Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah kita miliki, tentang bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat kontroversi yang telah lama tentang masalah ini, dan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar dan majalah umum berlain-lainan, maka saya memandang perlu menerjemahkan dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya untuk kepentingan kalangan ilmiah.

Bagian atas setiap visum et repertum (otopsi) menunjukkan bahwa tim tersebut bekerja pada hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku Komandan KOSTRAD ketika itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Tim terdiri dari dua orang dokter tentara (termasuk Brigjen Roebono Kertopati yang terkenal itu), dan tiga orang sipil ahli kedokteran forensik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Di antara ketiga orang ini yang paling senior ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, ketika itu ahli paling terkemuka dalam kedokteran forensik di Indonesia. Tim bekerja sama selama 8 jam, yaitu dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober sampai 12.30 lewat tengah malam tanggal 5 Oktober, bertempat di Kamar Bedah RSPAD. Jelas mereka harus bekerja cepat, oleh karena dari berita-berita pers kita ketahui mayat-mayat itu baru bisa diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya (di mana para pembunuh telah melemparkannya) menjelang siang tanggal 4 Oktober, lebih 75 jam setelah pembunuhan terjadi.

Dalam jangka waktu itu, dalam iklim tropis bisa diperkirakan mayat sudah sangat membusuk. Dan sesudah hari siang, Selasa tanggal 5 Oktober, mayat-mayat itu dimakamkan dengan upacara militer di Taman Pahlawan Kalibata. Satu hal yang pasti patut diperhatikan. Mengingat bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung Mayjen Suharto, maka kiranya tidak akan mungkin jika laporan para dokter tersebut tidak segera disampaikan kepadanya, segera setelah tugas dilaksanakan.

Tujuh buah laporan itu masing-masing disusun menurut bentuk yang sama :

1.pernyataan adanya perintah Mayjen Suharto kepada lima orang ahli itu;

2.identifikasi atas mayat;

3.deskripsi tubuh, termasuk pakaian atau hiasan-hiasan badan;

4.uraian rinci tentang luka-luka;

5.kesimpulan tentang waktu dan penyebab kematian;

6.pernyataan di bawah sumpah dari kelima ahli itu,

7.bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan sepenuh-penuhnya dan sebagaimana

mestinya.

Karena gambaran umum tentang matinya tujuh tokok itu, kita, sebagaimana halnya masyarakat pembaca di Indonesia tahun 1965, harus banyak bersandar pada apa yang diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata danBeri ta

Yudha, serta dinas informasi ABRI yang memasok suratkabar-suratkabar tersebut.

Walaupun ada beberapa suratkabar non-militer yang tetap terbit, namun pers kiri telah ditindas pada petang hari tanggal 1 Oktober, sedangkan radio dan televisi yang dikuasai negara, dan telah ada di tangan militer sepenuhnya menjelang 1 Oktober, tidak mengudara.

Karena itu perlu diperbandingkan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar- suratkabar tentara tersebut, dengan ini laporan dari para ahli kedokteran yang ditunjuk militer yang selesai tersusun pada hari Selasa tanggal 5 Oktober, yang bisa kita simpulkan dari dokumen-dokumen lampiran itu.

Mengingat bahwasanya dua suratkabar tersebut adalah harian-harian pagi, sehingga edisi 5 Oktober mereka mungkin sudah "ditidurkan" sementara para dokter masih menyelesaikan pekerjaannya, maka tidak aneh bila pemberitaan mereka tentang hari itu barangkali tergesa-gesa, tanpa memanfaatkan informasi yang panjang lebar itu.

Angkatan Bersenjata memuat beberapa buah foto kabur mayat-mayat yang telah

membusuk, dan menggambarkan pembunuhan tersebut sebagai "perbuatan biadab

berupa penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan".

Berita Yudha yang selalu lebih garang, mengatakan bahwa mayat-mayat itu penuh dengan bekas-bekas penyiksaan. "Bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita." Mayjen Suharto sendiri dikutip menyatakan, "jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala (jenazah-jenazah itu), betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan 'Gerakan 30 September'".

Suratkabar itu meneruskan dengan menggambarkan saat-saat terakhir kehidupan Jendral Yani, mengatakan bahwa sesudah ditembak rubuh di rumahnya, ia dilemparkan hidup-hidup ke dalam sebuah truk dan terus menerus disiksa sampai "penyiksaan terakhirnya di Lubang Buaya." Bukti-bukti tentang penyiksaan ini ditunjukkan dengan adanya luka-luka pada leher dan mukanya, dan kenyataan bahwa "anggota-anggota tubuhnya tidak sempurna lagi".

Apa yang dimaksud oleh kata-kata yang agak kabur itu menjadi lebih jelas pada hari- hari berikut. Pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa "matanya (Yani) dicungkil". Berita ini dikuatkan dua hari kemudian olehBeri ta

Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu ditemukan terbungkus dalam

sehelai kain hitam.

Pada tanggal 7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata melukiskan lebih lanjut, tentang bagaimana Jendral Harjono dan Jendral Pandjaitan tewas oleh berondongan tembakan senjata api di rumah masing-masing, lalu mayat mereka dilempar ke dalam sebuah truk yang menghilang dalam kegelapan malam dengan "deru mesinnya yang seperti harimau haus darah". Sementara itu Berita Yudha memberitakan tentang bekas-bekas siksaan pada kedua tangan Harjono.

Pada tanggal 9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa meskipun muka dan kepala Jendral Suprapto telah dihancurkan oleh "penteror-penteror biadab", namun ciri-cirinya masih bisa dikenali. Pada Letnan Tendean terdapat luka-luka pisau pada dada kiri dan perut, lehernya digorok, dan kedua bola matanya "dicungkil".

Harian ini pada hari berikutnya mengutip saksi mata pengangkat mayat bulan Oktober itu, yang mengatakan bahwa di antara kurban beberapa ada yang matanya keluar, dan beberapa lainnya "ada yang dipotong kelaminnya dan banyak hal-hal lain yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan."

Pada tanggal 11 Oktober Angkatan Bersenjata menulis panjang lebar tentang matinya Tendean, dengan menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di Lubang Buaya, sesudah diserahkan kepada para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Ia dijadikan benda "permainan jahat" perempuan- perempuan ini, digunakan sebagai "bulan-bulanan sasaran latihan menembak sukwati Gerwani."

Prof. Dr. W.F. Wertheim

Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa tentang peristiwa 1965,

lebih dahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata

pelajaran saya sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri sebagai pembaca suatu

detective story yang cari pemecahan suatu teka-teki.

Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu di

Bogor. Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh lain dalam

pimpinan partai. Aidit menceritakan tentang kunjungannya ke RRC, baru itu; dari

orang lain saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit: "Kapan kamu akan

mundur ke daerah pedesaan?" Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam tahun 1964

saya terima kunjungan di Amsterdam dari tokon terkemuka lain dari PKI, Nyoto,

yang pada waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki.

Saya mengingatkannya bahwa keadaan di Indonesia pada saat itu mirip sekadarnya

kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun 1927, sebelum kup Ciang Kaisyek.

Pendapat saya ialah bahwa ada bahaya besar bahwa militer di Indonesia juga akan

merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan kera s supaya golongan kiri di

Indonesia mempersiapkan diri untuk perlawanan dibawah tanah, dan mundur ke

udik. Jawaban Nyoto ialah bahwa saat bagi militer untuk dapat rebut kekuasaan

sudah terlambat. PKI telah terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun dalam

badan bawahan tentara dan angkatan militer yang lain.

Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto. Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran

melalui radio tentang formasi Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De

Haas menelpon saya dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!" Saya menjawab:

"Awas, menurut saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober kami

dengar bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal kami namanya, telah berhasil

tangkap kekuasaan. De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan: "Saya takut

mungkin kemarin Anda benar!" Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari

kepala sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai

ahli politik tentang Indonesia, dan ia hendak mengetahui: "Apa yang sebenarnya

situasi politik di Indonesia sekarang?" Jawaban saya ialah: "Tentu Anda sebagai

orang Tionghoa dapat mengerti keadaan! Sangat mirip kepada yang terjadi di

Tiongkok dalam tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan dengan

tentaranya, dan komunis kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di

Canton (Guangzhou)". Ia tidak mau setuju. Di bulan Januari tahun 1966 saya

terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell Univesity

di A.S., suatu 'Laporan Sementara' tentang peristiwa September-Oktober di

Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah peristiwa itu benar suatu kup

komunis, seperti dikatakan oleh penguasa di Indonesia dan oleh dunia Barat.

Yang terima laporan itu, boleh memakai bahannya (begitu mereka tulis kepada

saya), tetapi untuk sementara tanpa menyebut sumbernya, oleh karena mereka

masih mencari bahan tambahan, dan meminta reaksi dan informasi lagi. Dengan

mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu, saya menulis suatu karangan yang

dimuat dalam mingguan Belanda "De Groene Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari

1966, dengan judul "Indonesia berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya:

mengapa di dunia Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di

Indonesia, kalau dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang kadang-kadang

jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali

alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah golongan kiri sendirilah yang

bersalah - apakah bukan mereka sendiri yang mengorganisir ku p 30 September dan

yang bersalah dalam pembunuhan 6 jendral itu?.

Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa-peristiwa

dan menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti tentang golongan PKI bersalah

dalam peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan menculik dan

membunuhi jenderal tidak mungkin berguna untuk PKI - jadi salah mereka tidak

masuk akal. Lagi hampir tidak ada persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi

situasi yang akan muncul sesudah kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut

kemiripan kepada peristiwa di Shanghai dalam tahun 1927, yang juga sebenarnya

ada kup dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam karangan di "Groene

Amsterdammer" itu: "Terminologi resmi di Indonesia masih adalah kiri, akan

tetapi jurusannya adalah kanan". Kemudian, dalam bulan Februari tahun '67,

Mingguan Perancis "Le Monde" mengumumkan wawancara den gan saya.

Dalam wawancara saya bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh

penting dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang

telah diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, bahwa mereka itu orang

komunis yang terkemuka.

Apa yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang

provokatir, yang pakai nama palsu?" Mencolok mata bahwa beberapa minggu sesudah

wawancaranya itu ada berita dari Indonesia bahwa Sjam, yang namanya sebenarnya

Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda, pagi jam 7.

Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang Double agent! Saya ingin dengar lagi

siaran jam 8 diulangi bahwa Sjam ditangkap, tetapi kali ini TIDAK ditambah

bahwa ia double agent! Rupanya dari kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah

itu jangan dipakai! Tetapi saya dapat Sinar Harapan dari 13 Maret '67, dan di

sana ada cerita tentang cara Sjam itu ditangkap. Dan judul berita itu: "Apakah

Sjam double agent?" Tetapi sesudahnya di pers Indonesia istilah double agent

itu tidak pernah diulangi lagi. Dalam semua p roses di mana Sjam muncul sebagai

saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis yang

sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu MENGAKU bahwa dia yang

memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia selalu tambah bahwa

yang sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang juga ada pada hari itu di

Halim, dan yang sebenarnya menurut Sjam dalang dibelakang segala yang terjadi.

Tentu Aidit tidak dapat membela diri dan membantah segala bohong dari Sjam,

oleh karena ia dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu proses, ditembak

mati oleh Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti Njoto

dan Lukman, tidak dapat membela diri di pengadilan.

Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam

menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak mendapat

kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan:

ia dipaksa untuk mencoret bagian tentang hal itu dari pleidoinya! Waktu Sjam

kedapatan sebagai double agent yang sebagai militer masuk kedalam PKI untuk

mengintai, saya mulai menduga pula bahwa Soeharto sendiri mungkin terlibat

dalam permainan-munafik. Pada tanggal 8 April 1967 di mingguan "De Nieuwe

Linie" dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam wawancara ini saya telah

menyebut kemungkinan bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965 adalah satu provokasi dari

kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Soehartolah yang paling

memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begitu: "Aneh sekal i: kalau

semua itu akan terjadi di suatu cerita detektif, segala tanda akan menuju

kepada dia, Soeharto, paling sedikit sebagai orang yang sebelumnya telah punya

informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa 65, Soeharto turut menghadiri

pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen.

Untung dahulu menjadi orang bawahan Soeharto di tentara. Lagi, dalam bulan

Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu dengan Jenderal Supardjo, di

Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main peranan yang utama

dalam komplotan. Aneh lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan

malahan KOSTRAD tidak diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun

letaknya di Medan Merdeka dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua

militer mengetahui bahwa kalau Yani tidak di Jakarta atau sakit, Soehartolah

sebagai jenderal senior yang menggantikannya. Aneh juga bahwa Soeharto

bertindak secara sangat efisien untuk menginjak pemberontakan, sedangkan grup

Untung dan kawannya semua bingung." Wawancara itu saya akhiri dengan

mengatakan: "Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan sukar daripada detective-story".

Begitulah pendapat saya di tahun 1967. Tetapi dalam tahun 1970 terbit buku

Arnold Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner; judulnya "The Communist

Collapse in Indonesia". Di halaman 100 Brackman menceritakan isi suatu

wawancara dengan Soeharto, agaknya dalam tahun 1968 atau 1969, tentang suatu

pertemuan Soeharto dengan Kolonel Latief, tokoh yang ketiga dari pimpinan kup

tahun 65. Isinya: "Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya

3 tahun, dapat celaka di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami dengan

buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit. Banyak teman menjenguk anak

saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga berada di rumah sakit. Lucu

juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit

malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu at as

keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian

yang sesudahnya. Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit

bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan sebenarnya UNTUK MENCEK SAYA. Ia

hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan ia dapat memastikan bahwa saya

akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya tetap di rumah sakit

sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah". Begitulah kutipan

dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan Soeharto. Untuk saya pengakuan

ini dari Soeharto, bahwa ia bertemu dengan Kolonel Latief kira-kira empat jam

sebelum aksi terhadap 7 jenderal mulai, sungguh merupakan 'rantai yang hilang'

- the missing link dalam detective storyy. Hal ini dengan jelas membuktikan

hubungan Soeharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965.

Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit Militer, 3

atau 4 jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 jenderal mulai, maksudnya

untuk menceritakan pada Soeharto tentang rencana mereka - tetapi sukar

membuktikan itu selama Soeharto berkuasa, dan Latief dalam situasi orang

tahanan. Hanya satu hal yang kurang terang. Mengapa Soeharto menceritakan pada

Brackman tentang pertemuan ini? Agaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan

Latief ke rumah sakit.

LETKOL SUKITMAN

Jakarta: Yayasan Sukitman, 2006. Djanwar. Mengungkap Pengkhianatan/Pemberontakan G30S/PKI 30 September Partai Komunis Indonesia: G.30.S/PKI. Jenderal yang Masih Hidup

Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando Tempo berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol BIOGRAF LEKTOL UNTUNG/PEMIMPIN GERAKAN G-30 S/PKI (8)Selain Kahar, pemberontakan lain yang latar belakang perjalanan hidup sejarah kahar muzakkar, tanya saksi Saksi Peristiwa G 30/S PKI, Sukitman Meninggal Dunia

1, G 30 S PKI merupakan bikinan PKI sendiri saya yang sampai saat ini masih hidup dan menjadi saksi hidup mulai dari zaman penjajahan belanda, jepang pemberontakan PKI

dipergunjingkan tentang tragedi G 30/S/PKI Letkol Untung didalangi oleh PKI. Ia menganggap hal ini sebagai sebuah pemberontakan. dilakukan Soeharto agar saksi-saksi silam di Jakarta, tepatnya tentang peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI dunia, maka kini hanya tertinggal satu lagi saksi kisah ini, Jendral M Yusuf masih hidup, maka ia 0 Layout A5 Bookfold Peristiwa PKI Total Zlf The Princeton Review's Guide to From: USAToday. Reads: 4,053

42 tahun silam di Jakarta, tepatnya tentang peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI. ini ditarik dari peredaran dan hingga kini gak ada saksi mata yang masih hidup hanya Watch Live Streaming Video wawancara Saksi hidup G30S PKI. Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha Kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia. Watch Live Streaming Video wawancara Saksi hidup G30S PKI – H. Sukitman. Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu. Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha Kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

Watch Live Streaming Video wawancara Saksi hidup G30S PKI – H. Sukitman, Watch Live Streaming Video wawancara Saksi hidup G30S PKI – H. Sukitman. Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha Kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.Pada malam peristiwa kejadian penculikan para jendral tersebut menurut Sukitman(mantan anggota Komres VIII) saksi mata yang menyaksikan dan mengalami langsung kejadian tersebut pada buku yang berjudul “Kesaksian Sukitman Penemu Sumur Lubang Di dalam merebut Lanud Halim terdapat beberapa versi ada yang mengatakan telah terjadi konspirasi antara AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) dan PKI , AURI dianggap telah mendukung gerakan G30S/PKI mereka disinyalir telah

Jakarta: Yayasan Sukitman, 2006. Djanwar. Mengungkap Pengkhianatan/Pemberontakan G30S/PKI dalam Rangka Mengamankan Pancasila dan UUD 1945. Bandung: Yrama, 1986. Fic, Victor M. Anatomy of the Jakarta Coup: October 1, 1965: The Collusion . from prison by the now-defunct magazine D&R, “Wawancara Serma Boengkoes: Tahu-Tahu Jenderal yang Masih Hidup Digandeng,” (12-17 April 1999), and by the newspaper Kompas: “Saya Menyesal Mayjen M.T. Haryono Tertembak,” (30 Maret 1999). Jakarta: Yayasan Sukitman, 2006. Djanwar. Mengungkap Pengkhianatan/Pemberontakan G30S/PKI dalam Rangka Mengamankan Pancasila dan UUD 1945. Bandung: Yrama, 1986. Fic, Victor M. Anatomy of the Jakarta Coup: October 1, . after his release from prison by the now-defunct magazine D&R, “Wawancara Serma Boengkoes: Tahu-Tahu Jenderal yang Masih Hidup Digandeng,” (12-17 April 1999), and by the newspaper Kompas: “Saya Menyesal Mayjen MT Haryono Tertembak,” (30 Maret 1999).

Buat apa kalian semua hidup di dalam Bus yang penuh pelacur ini? Bukankah kalian semua orang-orang bersih dan suci? Larilah, karena semua tempat sudah terkepung pelacur, selagi bisa, minum air ini secepat mungkin. Aku, manusia berhati sampah, yang menghilang di taman getsemani pada sebuah pemberontakan yang di dalangi DN. Aidit dan PKI, aku, manusia berhati sampah yang menghilang ketika kerusuhan '98 tersulut dan menciptakan ribuan daging panggang yang dipesan Senin, 30 Juli 2007,. Oleh Asvi Warman Adam. Pada 30 Juli 2007 (hari ini) pukul 10 pagi di Gedung Joang, Jakarta, buku. Harry Poeze “Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, De linkse Beweging en. Indonesische Revolutien 1945-1949″ (Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam Naar de Republiek Indonesia (Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925).

10 komentar:

  1. Ada yang salah. Penyebab utama dilengserkannya sukarno adalah tritura. Ulah CIA atau siapapun kurang kuat kuat untuk bisa melengserkan sukarno saat itu. Kalo pki, ya itu akibat perbuatan mereka sendiri. Berani memusuhi orang lain akhirnya dimusuhi karena semua rakyat saat itu memang sudah benci pki akibat ulahnya membunuh banyak ulama dari tahu 1940an. Jadi,kalo suharto yang melengserkan sukarno itu kurang kuat dan hanya berperan mengambil kesempatan di dalam kesempitan

    BalasHapus
  2. Ada yang salah. Penyebab utama dilengserkannya sukarno adalah tritura. Ulah CIA atau siapapun kurang kuat kuat untuk bisa melengserkan sukarno saat itu. Kalo pki, ya itu akibat perbuatan mereka sendiri. Berani memusuhi orang lain akhirnya dimusuhi karena semua rakyat saat itu memang sudah benci pki akibat ulahnya membunuh banyak ulama dari tahu 1940an. Jadi,kalo suharto yang melengserkan sukarno itu kurang kuat dan hanya berperan mengambil kesempatan di dalam kesempitan

    BalasHapus
  3. Masih dalam praduga meskipun mengerucut. Kalopun PKI tidak terlibat di tragedi gestapu saya ttp tidak bisa memaafkan telah apa yg di lakukan pemberontakan PKI sebelum2nya yg begitu keji membantai para kiyai, selain itu atas kelakuannya yg membubarkan partai2 kecil sehingga menimbulkan kebencian, seperti masyumi dengan lantangnya bilang masyumi itu haram. Jdi wajar timbul banyak dendam kepada PKI ini.

    BalasHapus
  4. Benang Merahnya,tetap pelakunya adalah PKI yg mengisukn dewan jendral kpd BK,dan kebencian yg sangat wajar jika pak harto kpd yg nmnya PKI,selain mrk melakukan penculikan disertai pembunuhan jg di awali pembatain di basis2 islam,melihat kdekatan BK dngn PKI serta mempersenjatai hingga 100 000 pucuk sangat wajar TNI hrs bertindak agar komunis tdk menguasai RI,yg saat itu partai terbesar mengasai Republik ini,dr beberapa narasumber yg paling kuat adalah dari lingkungan TNi sendiri yg dapat di percy k akaratannya,kl brt hasil forensik istilah skr itu,ga usah di besar2kn kn saat itu media atau analisa ke akuaratan msih jadul,yg point nya aja jelas di culik di bunuh secar keji dan belrutal ala PKI,dan kalau pun ada pembatain balasan sangat wajar nm jg revolusi,sperti yg mrk lakukan kpd tahun sbelumnya yg tidak sepaham oleh paham PKI pun di bunuh dngn cr yg keji,jd jelas mrk(PKI) Adalah partai Bengis brutal tdk punya tuhan hingga tak pnya ahlak,wa allahu alam bisoab

    BalasHapus
  5. Balasan
    1. Kyak nya ia,dia menyampai kan tntg dia ny yg benar.yg lain salah,hnya pki yg spti itu.lagian kalo cma crita sndri enak mngarang ny.

      Hapus
  6. Maaf ya yg baca pak sukarno itu lebih condong ke blok timur meskipun tetap berpegang teguh kepada pancasila dan politik bebas aktif, dan inggris dan usa tidak suka itu karena itu.makanya ada politik adu domba dan alhasil bangsa ini terjerat oleh mereka, jika memang komunis itu salah lihatlah negara komunis sekarang jauh lebih maju di banding kita. Dan lihatlah usa,inggris, perancis yang takut banget negara komunis maju, dan tukang jajah bangsa lain kan bukan yang pahamnya komunis mana ada jajahan uni soviet, china, vietnam, korut, kuba???

    BalasHapus
  7. apapun alasannya PKI itulah dalang G30S/PKI. TENTU ORANG ORANG PKI DENDAM DENGAN SUHARTO BELAKANGAN MEREKA MENUDUH SUHARTO DALANG G30S/PKI.

    BalasHapus
  8. Dari otopsi resmi dokter rspad yang memeriksa jenazah para jendral memang ditemukan puluhan luka tembak dari kepala badan sampai punggung sampaii pantat artinya para jendral itu di trotot/dibrondong dengan bedil oleh orang PKI. dan ada luka bekas benda tajam dan tulang para jendral itu retak dan patah akibat hantaman benda berat. jrlas mereka dibunuh secara biadab ditumpuk dimasukjan dalam sumur yang memang sengaja di buat jauh hari. masih juga orng pki berkelit tidak ada penyiksaan . palak moyang PKI gak ada penyiksaan. terus dengan otopsi para jendral itu alat kelaminnya masih utuh dan matanya lepas bukan karena dicongkel gerwani melainkan karena sudah membusuk terus PKI MERASA BENAR GITU MERASA DIPITNah gitu. terus menyalahkan tentara yang mengatakan para jendral matanya dicongkel. kalau memang mata jendral itu lepas karena membusuk pasti lepas semua mata 6jendral dan 1 perwira pertama tni( tendean) . tapi yang matanya copot itu tidak semua para jendral. sekarang saja PKI masih pintar ngomong masih pintar berkelit memutar balikan fakta apa lagi dulu waktu pki masih jaya.

    BalasHapus
  9. Kaya dalang tau lakonnya pelaku sejarah ya

    BalasHapus