Selasa, 31 Mei 2011
Fakta setelah anda berhenti merokok
Senin, 23 Mei 2011
Filosofi Angsa
Kalau kita tinggal di negara 4 musim, maka saat musim gugur, akan terlihat rombongan angsa terbang ke arah selatan untuk menghindari musim dingin. Angsa-angsa tersebut terbang dengan formasi berbentuk huruf ?V?. Kita akan melihat beberapa fakta ilmiah mengapa rombongan angsa terbang dengan formasi bentuk huruf ?V??
Fakta (1) :
Kepakan sayap angsa di depan, memberi ?daya dukung? bagi angsa dibelakangnya. Angsa di belakang tidak perlu susah-payah menembus ?airwall? di depannya. Hasilnya, seluruh kawanan angsa dapat menempuh jarakterbang 71 % lebih Jauh dari pada kalau setiap angsa harus terbangsendiri-sendiri.?
Bila arah dan tujuan kita sama, dan kita mau saling berbagi dalam perserikatan, maka pencapaian tujuan kita akan menjadi lebih cepat dan lebih mudah. Mampukah kita untuk saling dorong dan saling dukung satu sama lain dalam pencapaian tujuan bersama ?. Sudah seharusnya !. Karena angsa saja bisa !
Fakta (2) :
Kalau seekor angsa terbang keluar dari formasi rombongan, ia akan merasa berat dan sulit untuk terbang sendirian. Dengan cepat ia akan kembali ke dalam formasi untuk mengambil keuntungan dari daya dukung yang diberikan angsa di depannya.
Kalau kita memiliki cukup logika umum, kita akan tetap berada dalam perserikatan bersama partner lain dan pengelolanya. Kita membuka diri untuk menerima dan memberi bantuan dari dan kepada partner lainnya. Lebih sulit untuk melakukan sesuatu seorang diri daripada melakukannya bersama-sama dalam perserikatan yang akan menjadi milik kita bersama.
Fakta (3) :
Ketika angsa pemimpin yang terbang di depan menjadi lelah, ia terbang memutar ke belakang formasi, dan angsa lain akan terbang menggantikan posisinya.
Adalah masuk akal untuk melakukan tugas-tugas yang sulit dan penuh tuntutan secara bergantian dan memimpin secara bersama. Kita yakin potensi semua partner. Tapi, manusia saling bergantung satu sama lain dalam pengetahuan, keterampilan, kemauan, kapasitas, karunia lain yang unik, serta talenta atau sumber daya lainnya.
Fakta (4) :
Angsa-angsa yang terbang dalam formasi mengeluarkan suara riuh-rendah dari belakang memberi semangat kepada angsa yang terbang di depan sehingga kecepatan terbang dapat dijaga.
Kita harus memastikan bahwa ucapan kita akan memberi dukungan kekuatan, bukan melemahkan. Semua partner dalam perserikatan akan saling memperkuat, sehingga hasil yang dicapai akan menjadi lebih besar. Dukungan dalam satu kesatuan hati dilandasi nilai-nilai luhur adalah kualitas suara dan ucapan partner yang diharapkan bersama oleh semua partner dalam perserikatan .
Fakta (5) :
Ketika seekor angsa menjadi sakit, terluka, atau ditembak jatuh, dua angsa lain akan ikut keluar dari formasi bersama angsa tersebut dan mengikutinya terbang turun untuk membantu dan melindungi. Mereka tinggal dengan angsa yang jatuh dan berusaha untuk mendorongnya agar dapat terbang lagi, tidak sampai mati. Setelah itu mereka akan terbang dengan kekuatan mereka sendiri atau dengan membentuk formasi lain untuk mengejar rombongan mereka.
Kalau saja kita berperasaan seperti seekor angsa, kita akan tinggal bersama partner yang berada dalam kesulitan, seperti ketika segalanya baik, dan berusaha untuk mendorongnya agar dapat bangkit kembali.
Minggu, 22 Mei 2011
Ciri ciri orang padang
1. Tidak bisa melihat dan membiarkan trotoar kosong atau nganggur.
2. Berjalan/mengendarai mobil lebih pelan di perempatan/pertigaan untuk melihat peluang membuka rumah makan.
3. Mengeluh bila belum makan masakan Padang minimal sekali sehari.
4. Tidak bisa makan tanpa cabe atau sambal pedas serta selingan kerupuk jengkol.
5. Kalo makan berkeringat, tapi kalo kerja maunya tidak berkeringat.
6. Hal pertama yang ditanya begitu sampai di suatu kota adalah dimana ada rumah makan Padang terdekat.
7. Membawa nasi rames Padang ke dalam pesawat sejak Airlines di Indonesia tidak lagi menyediakan makanan.
8. Lebih memilih rendang jengkol dan sambel pete daripada menu daging, ayam atau sambel ABC.
9. Pada saat makan pagi, anda sudah mengetahui kemana dan makanan apa yang akan dimakan untuk siang dan malam harinya.
10. Makanan kesukaan anda di daftar menu adalah yang paling murah dan paling banyak porsinya.
11. Terhimpit maunya di atas, terkurung maunya diluar.
12. Masih menawar harga barang di swalayan atau department store yang sudah ada Price Tag-nya dengan harapan bisa dapat lebih murah.
13. Hal pertama yang muncul di pikiran saat membeli barang adalah apakah bisa dijual kembali dengan sedikit keuntungan.
14. Berhasil dengan sukses menjual serta meyakinkan seseorang untuk membeli barang kelas kaki lima dengan harga swalayan.
15. Tahu perkembangan naik turun harga barang di pasar, harga emas, harga kain, upah jahit baju, ongkos cetak dan sewa tempat di pasar.
16. Berkunjung ke department store, swalayan atau toko hanya untuk mengetahui perbandingan harga barang untuk kemudian mencarinya di kaki lima.
17. Simbol matematika yang paling dikenal adalah tanda + (tambah) dan tanda X (kali), tidak mengenal tanda - (kurang) dan tanda : (bagi).
18. Lancar mengucapkan kalimat satu 5 ribu, dua 7 setengah, tiga 10 ribu.
19. Hasil perhitungan 2+2=7 karena 4 pulang modal, 2 keuntungan dagang, 1 untuk sewa tempat/ongkos.
20. Tangan menerima uang lebih cepat dan tangkas daripada tangan membayar.
21. Pelajaran yang paling diminati di sekolah adalah aritmatika, hitung dagang, harga pokok dan marketing.
22. Tempat duduk favorite anda waktu berkunjung ke cafe atau restorant adalah di dekat kasir atau pintu masuk, untuk melihat penerimaan uang masuk dan jumlah pengunjung yang datang.
23. Perintah tambahan anda saat menyuruh seseorang membeli barang di toko atau warung adalah cari harga yang paling murah dan usahakan untuk menawar.
24. Selalu naik angkutan umum atau angkot yang ada musicnya.
25. Menyetop taxi, membuka pintu depan, kemudian bertanya ke sopir taxi-nya "Jurusan mana Bang??".
26. Lebih memilih tarif taxi sistem tawar menawar daripada sistem argometer demi alasan kepastian harga dan kepuasan menawar.
27. Selalu memilih duduk paling depan kalo naik angkutan umum, bus atau pesawat dengan tujuan supaya bisa sampai lebih cepat dan lebih dulu.
28. Pesta pernikahan anda belum terasa lengkap tanpa ada panggung orgen tunggal yang menampilkan penyanyi terkenal se-kecamatan atau kabupaten.
29. Begitu keluar dari kampung halaman, langsung bisa berbahasa Indonesia Raya yang baik dengan logat Minang yang kental serta gimana gitu.
30. Selalu berprinsip "Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung, tapi kampung halaman dan pulang kampung tetap nomor satu".
Anak batak dan Mamanya
si ibu menjawab :"udah nak..."
Trs si anak bertanya lagi : "klo bandung ?"
si ibu menjawab : "udah anakku.."
trs si anak bertanya lagi :
"Klo Jogjakarta udah ?"
si ibu menjawab :
"udah"
Lalu si anak bertanya lagi :
"Klo surabaya, Makasar, Papua mak ?"
Sambil menahan kantuk si ibu menjawab :
"Tidurlah nak, tinggal mulut kau saja yang belum mamak injak.."
Rabu, 18 Mei 2011
G30S PKI menurut beberapa versi
Ratnasari Dewi Soekarno
RATNASARI Dewi Soekarno memperlihatkan dokumen yang dikirim ke Amerika Serikat dalam jumpa persnya di Jakarta, kemarin. Dokumen tersebut menyebutkan tentang adanya percobaan kudeta terhadap Presiden pertama RI Soekarno.* (DUDI SUGANDI/”PR”)
MISTERI Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) kini mulai terungkap. Ini setidaknya menurut versi Ratna Sari Dewi, istri almarhum Presiden Soekarno, yang menyingkapkannya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (7/10). Dengan tutur bahasa Indonesia yang kurang lancar, Dewi memaparkan secara runtut kejadian sekitar tragedi berdarah yang membenamkan bangsa Indonesia dalam kepedihan berkepanjangan itu. “G30S/PKI bukanlah suatu kup atau kudeta. Kudeta terjadi justru tanggal 11 Maret dengan Surat Perintah 11 Maret yang menghebohkan itu,” kata Dewi dalam konferensi pers di kediamannya yang asri di Jl. Widya Chandra IX No. 10. Jumpa pers ini dihadiri ratusan wartawan dari dalam dan luar negeri. Maka meluncurlah cerita dari bibir mungil wanita yang masih cantik di usianya yang mendekati kepala enam ini. Dengan sangat ekspresif, ia bahkan memperagakan saat-saat akhir Bung Karno (BK) ketika dibawa dari Wisma Yaso ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). “Sebelum 30 September, Bapak (Bung Karno-BK, red) memanggil Jenderal A. Yani untuk menanyakan tentang adanya Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta dan membunuhnya,” kata Dewi mengutip ucapan suaminya. Saat itu, Pak Yani menyatakan bahwa dirinya sudah tahu tentang hal itu, dan nama-nama para jenderal itu sudah ada di tangannya. “Jadi Bapak tidak usah khawatir,” kata A. Yani. Saat itu, sebetulnya tidak ada yang memberitahu anggota pasukan Tjakrabirawa, pasukan pengawal presiden, tentang rencana makar terhadap panglima revolusi ini. Entah mengapa, pentolan Tjakra seperti Letkol Untung, Kolonel Latief dan Supardjo mengetahuinya. “Mungkin ada yang memberi tahu mereka,” ucap Dewi mengutarakan prediksinya. Sebagai perwira muda yang sangat loyal kepada BK, didorong kekhawatiran akan keselamatan BK, pasukan Tjakra ini bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya. Sebab kalau lapor kepada atasannya, diperlukan bukti-bukti padahal mereka hanya punya waktu sekitar empat hari lagi, karena kudeta akan dilakukan tanggal 5 Oktober 1965 saat ulang tahun ABRI. “Lebih baik kami interogasi saja jenderal-jenderal itu,” kata Dewi tentang niat para perwira muda di kesatuan Tjakra ini. Hal ini sebenarnya tidak direncanakan dengan baik, karena para perwira muda ini didorong oleh suasana emosi dan darah mudanya yang memang panas. Guna menghindari kemungkinan yang lebih buruk, Kol. Latief menemui Pak Harto di RSPAD dan membicarakan tentang rencana dewan jenderal. Juga diungkapkan kekhawatirannya terhadap keselamatan BK dan anggotanya serta rencana menginterogasi anggota dewan jenderal. “Kalau ada apa-apa, Pak Harto bisa mem-back up,” kata Dewi. Namun permintaan itu ditanggapi dingin oleh Pak Harto yang saat itu menjabat Pangkostrad. Sebetulnya, kalau mau Pak Harto bisa mencegah kejadian ini. Namun karena tidak hirau, Pak Harto membiarkan pasukan Tjakra bertindak. “Tjakra bermaksud menyelamatkan BK. Masudnya baik tapi caranya kasar. Saya bisa mengerti karena darah mudanya,” tutur Dewi. Untuk menginterogasi para jenderal itu, Letkol Untung tak mungkin menyuruh prajurit muda dengan pangkat rendah. Mereka ini hanya bertugas menjemput para jenderal untuk diinterogasi. “Para prajurit ini tak mungkin berani memanggil Pak Yani yang jenderal untuk menghadap. Karena itu, mereka meminta para jenderal untuk menghadap BK dan tidak ada sama sekali rencana untuk membunuh mereka,” jelas Dewi yang sempat menghebohkan masyarakat Indonesia lewat buku yang menampilkan seluruh tubuhnya, Madame D’syuga. Namun karena mereka masih muda, kerap kali keluar kata kasar yang tidak layak ditujukan kepada jenderal sehingga mereka marah. Contohnya Jenderal Yani yang menampar seorang prajurit dan akhirnya ditembak di tempat, sebagaimana terungkap dalam film G30S/PKI arahan Arifin C. Noer. “Jadi gerakan itu bukanlah orang PKI melainkan orang-orang militer. Ini merupakan insiden yang sangat bodoh, idiot, cruel dan harus dicela,” kata mantan geisha di Jepang ini. Menurut Dewi, usai gerakan ini Soeharto langsung menyatakan bahwa pelakunya adalah PKI. Itu diutarakan lewat RRI sehingga membentuk opini masyarakat tentang jahatnya PKI. Saat HUT TNI, Soeharto telah berhasil menguasai TNI. “Mengapa rencana kudeta itu tanggal 5 Oktober? Karena saat itu semua maklum bila tentara keluar barak menuju istana untuk memperlihatkan keterampilannya di hadapan presiden. Saat itu ada show of tank. Ini persis dilakuan CIA ketika menjatuhkan Presiden Mesir Anwar Sadat yang meninggal saat defile angkatan perangnya,” kata Dewi yang saat konferensi pers mengenakan batik tulis ‘lusuh’ warna cokelat muda ini.
**
TENTANG jatuhnya BK, Dewi sangat yakin bahwa BK Jatuh atas keterlibatan CIA. Untuk memperkuat pernyataannya itu, Dewi memperlihatkan 10 fotokopi dari tiga surat penting yang disebutnya sebagai bukti otentik keterlibatan CIA dan AS.
Bukti pertama adalah dokumen tentang pertemuan salah seorang jenderal dengan dubes AS waktu itu untuk membicarakan kudeta tanggal 5 Oktober 1965.
Dokumen kedua adalah dokumen Gillchrist, orang kedua di Kedubes AS yang menyebutkan tentang rencana Marshal Green menjadi Dubes AS di Indonesia. Orang terakhir ini adalah pakar kudeta CIA yang terlibat dalam kudeta di Korea dan Hongkong. Saat itu sebetulnya BK sudah diingatkan tentang kemungkinan adanya rencana CIA di Indonesia sehubungan dengan kedatangan Green ini. “Tapi kalau saya tolak, berarti saya takut pada AS,” kata BK, seperti dikutip Dewi, tentang alasannya menerima Green.
Dokumen terakhir adalah surat dari BK untuk Dewi yang menyatakan penderitaannya karena tidak boleh dijenguk anak dan istrinya. Juga tentang kondisi terakhir BK.
“Saat saya datang, kondisi Bapak sangat mengenaskan. Keesokan harinya Bapak meninggal. Ketika saya konfirmasikan kepada dokter di AS dan Prancis, ternyata terungkap bahwa ada indikasi Bapak dibunuh dengan cara diberi obat over dosis,” katanya .(Refa/”PR”)***
SOEHARTO
Tatkala Bung Karno berkunjung ke Semarang, Mayjen Soeharto men-jabat Panglima Kodam Diponegoro. Pak Harto mencurahkan isi hatinya tentang PKI. Sembari berjalan ia katakan kepada Bung Karno bahwa ia melihat semakin hari PKI semakin menonjol. Tanyanya: “Apakah itu tidak berbahaya?” Seperti dalam nada marah, Bung Karno menjawab: “PKI mesti dimasukkan ke dalam Pancasila. Dan itu urusan saya.”
Meski pendapatnya tidak diterima, Soeharto lega karena telah
menumpahkan sesuatu yang sejak lama sangat mengganjal
perasaannya. Mayjen Soeharto tidak lama memegang komando Kodam Diponegoro. Orang-orang PKI menyebarkan isu bahwa ia melakukan korupsi. Isu ini sampai ke telinga Bung Karno. Mayjen Soeharto ditarik dan disekolahkan di Seskoad, Bandung. Selepas Seskoad, tanggal 1 Mei 1963, Mayjen Soeharto diangkat menjadi Panglima Komando Mandala, Wakil Panglima I Kolaga (1964), kemudian Pangkostrad dengan pangkat Letnan Jenderal (1965).
Situasi politik di dalam negeri tambah tidak menentu. PKI menggusur partai-partai politik lain dan ormas-ormas dengan menyatakan dirinya yang paling revolusioner, sedangkan lawan-lawannya dicap sebagai “kontra revolusi”. PKI terus mengipas Bung Karno. Dan orang-orang yang ada di sekitar Presiden tidak ada yang berani menyampaikan pendapat yang berlainan. Gambaran peta politik waktu itu sudah jelas: adanya perselisihan yang tajam antara AD, golongan Islam dan nasional yang anti komunis dengan PKI dan rekan-rekannya, di pihak lain.
Tanggal 16 September 1963, terbentuk negara Federasi Malaysia. Ini menimbulkan kemarahan besar pada Bung Karno. Pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaya, 17 September 1963. Bung Karno menilai pembentukan Malaysia melanggar kesepakatan antara dirinya dan PM Tengku Abdul Rachman di Tokyo, Juni 1963. Malaysia dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris. Bung Karno menunjukkan kekesalannya, dengan menyebutkan di depan umum, bahwa “Pemerintah Indonesia telah dikentuti.”
Di New York, para diplomat Indonesia bekerja ekstra keras untuk menggagalkan masuknya Malaysia ke dalam Dewan Keamanan PBB. Ada ultimatum dari Jakarta, “Jika DK-PBB menerima Malaysia, Indonesia akan meninggalkan PBB.” Ternyata Malaysia diterima. Tanggal 1 Januari 1965, Menlu Subandrio dengan resmi menyatakan sikap Indonesia keluar dari PBB.
Bung Karno menyerukan Komando Pengganyangan Malaysia, dikenal dengan Dwi-Komando-Rakyat, atau Dwikora, dalam apel besar Sukarelawan di Jakarta, 3 Mei 1964. Dwikora menetapkan: perhebat ketahanan Revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Serawak untuk menggagalkan negara boneka Malaysia. Situasi terasa amat berbahaya. Suasana konfrontasi dengan Malaysia makin panas.
Tanggal 2 September 1964, dibentuk Komando Siaga (KOGA), panglimanya Laaksamana (U) Omar Dhani. Wakil panglima, Laksamana (L) Mulyadi dan Brigjen. A. Wiranatakusumah. Kepala stafnya Komodor (U) Leo Watimena. Tanggal 28 Februari 1965, Presiden Soekarno mengubah KOGA dengan Komando Mandala Siaga (KOLAGA). Panglimanya tetap Omar Dhani, Letjen Soeharto, Wakil Panglima I, Mulyadi Wakil Panglima II. Kepala stafnya tetap Laksda Leo Watimena dan wakil Kepala Staf Brigjen. A. Satari.
Sementara itu PKI terus meningkatkan agitasinya. Di pelbagai tempat terjadi keributan. Di Kediri, seorang Kiai dan Imam dipukuli oleh orang-orang PKI. Di Bandar Betsy, Sumatera Utara, Peltu. Sudjono dikeroyok secara beramai-ramai oleh orang-orang PKI sampai meninggal. Bung Karno mendapat masukan agar Indonesia lebih siaga. Pelbagai informasi di antaranya datang dari PKI yang sedang giat-giatnya menjalankan taktik, rencana pembentukan Angkatan V yang ditolak Angkatan Darat.
PKI menuntut Nasakomisasi di segala bidang. Menuntut buruh dan tani dipersenjatai. Asal muasalnya, PM China Chou En Lai menyarankan PKI untuk membentuk Angkatan V di luar Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Kepolisian. Untuk pembentukan Angkatan Kelima, Chou En Lai menjanjikan 100.000 pucuk senjata ringan secara cuma-cuma. Pimpinan AD dengan tegas menolak tuntutan PKI. Juga pimpinan AL dan AK, kecuali AU, Omar Dhani.
Lalu PKI mengembuskan isu tentang “Dewan Jenderal” dengan disiarkannya apa yang disebut “Dokumen Ginchrist”. Ginchrist adalah Duta Besar Inggris yang waktu itu bertugas di Indonesia. Dan dokumen yang memakai namanya itu dikatakan ditemukan di rumah Bill Palmer, di Puncak, sewaktu rumah importir film-film Amerika itu, diobrak-abrik Pemuda Rakyat.
Pimpinan PKI DN Aidit yang mengembuskan isu “Dewan Jenderal”, dibicarakan dengan Subandrio yang merangkap ketua BPI (Badan Pusat Intelijen). Isu itu sampai ke telinga Presiden Soekarno. Bung Karno kemudian menanyakan kepada Pangad Letjen. A. Yani: “Apa benar ada Dewan Jenderal dalam Angkatan Darat, antara lain, untuk menilai kebijaksanaan yang telah saya gariskan?” Jenderal Yani menjawab, “Tidak benar, Pak. Yang ada ialah “Wanjakti” (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi). Dewan ini mengurus jabatan dan kepangkatan perwira-perwira Tinggi Angkatan Darat.”
Lalu isu itu dikembangkan lagi oleh Aidit, dengan menyebutkan,”ada jenderal-jenderal yang tidak loyal pada Pemimpin Besar Revolusi. Dewan Jenderal akan mengadakan coup.” Isu itu berkembang sekitar Mei, Juni dan Juli, mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan September 1965.
Tanggal 4 Agustus 1965, Presiden Soekarno jatuh pingsan dan muntah-muntah. Rupanya kejadian ini menimbulkan pikiran yang mendesak pada Aidit yang baru kembali dari Moskow dan Peking untuk mengadakan tindakan, yakni merebut kekuasaan. Tampaknya ia berpikir, lebih baik mendahului daripada didahului oleh AD. Maka, pada dinihari 1 Oktober 1965, terjadilah malapetaka di negeri ini, manifestasi dari pikiran-pikiran mereka yang jahat.
Dinihari itu terjadi penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal AD. Pak Harto mendengar siaran G-30-S/PKI melalui RRI. Selang seperempat jam usai siaran, Pak Harto menerima Letkol Ali Murtopo dan Brigjen Sabirin Mochtar. Mereka diperintahkan menghubungi Komandan Batalyon yang berada di sekitar Monas, agar menghadap kepada Panglima Kostrad.
Letkol Ali Murtopo dan Brigjen Sabirin Mochtar kembali menghadap dan bercerita, bahwa Danyon 454 dan 530 tidak ada di tempat, mereka sedang ke Istana. Pak Harto tidak puas. Ia minta lagi keduanya agar menyuruh Wadanyon 454 dan 530 menghadap. Selang setengah jam Wadanyon 454 Kapten Kuntjoro dan Wadanyon 530 Kapten Suradi datang di kamar kerjanya. Pak Harto bertanya: “Tugasmu di sini apa?” Hampir berbarengan mereka menjawab, “mengamankan Presiden, karena akan ada kup dari Dewan Jenderal.”
“Itu semua tidak betul,” jawab Pak Harto sambil menatap kedua kapten itu. “Kamu tahu, Presiden Soekarno saat ini tidak ada di Istana. Coba kamu cek sendiri ke Istana kalau tidak percaya. Lagi pula Dewan Jenderal itu tidak ada, yang ada Wanjakti, saya sendiri anggotanya. Saya mengetahui betul, gerakan Untung (Letkol) pasti didalangi oleh PKI.” Setelah diam, Pak Harto melanjutkan ucapannya: “Ini merupakan pemberontakan, jadi, saya memutuskan untuk menghadapinya.” Langkah pertamanya, menyelamatkan dua batalyon yang dilibatkan dalam petualangan Letkol Untung, pemimpin Dewan Revolusi Indonesia.
Tanggal 6 Oktober 1965, Presiden Soekarno memanggil kabinet untuk bersidang di Istana Bogor. Pak Harto juga dipanggil untuk memberikan laporan mengenai situasi. Hadir juga Lukman dan Nyoto dari PKI, Menlu Subandrio dan dr. Leimena. Semestinya suasana murung karena baru kemarin para Pahlawan Revolusi dimakamkan. Yang terjadi malah suasana gelak dan tawa. Pak Harto mendapat kesempatan memberi laporan bahwa orang-orang PKI pasti punya hubungan dengan penculikan dan pembunuhan tersebut.
Nyoto menyangkal tanggungjawab PKI terhadap kudeta yang gagal itu. Malahan dia menuduh dilakukan oleh “Dewan Jenderal”. Presiden Soekarno dalam kesempatan itu mengarahkan telunjuknya kepada Nyoto, dan berkata, “Nyoto, kau tolol, mengobarkan peristiwa yang terkutuk itu. Peristiwa ini menghancurkan nama komunis. Itu satu tindakan kekanak-kanakan.”
FITRI AMANDA
Berikut tulisan seseorang yang berhasil kami dapat secara tidak sengaja melalui internet, namun sayang sekali tulisan yang katanya terdiri dari 2 bagian ini tidak kami temukan bagian ke 2 tersebut, namun membaca tulisan bag pertama saja sudah terlihat bahwa peristiwa ini penuh dengan kontroversi, siapa yang benar sebenarnya ? wallahualam, anggap saja ini sebagai bagian dari pelajaran kalian disekolah khususnya Sejarah (M. SAHLAN ATTAZKIYAH)
Berikut Penuturannya :
Oleh: Sulangkang Suwalu
Sudah hampir 2 bulan Soeharto dipaksa berhenti sebagai presiden oleh kekuatan mahasiswa dan rakyat. Dengan demikian gagallah rencananya untuk terus menjadi Presiden sampai dengan 2003. Sementara itu 21/2 bulan lagi adalah hari genapnya 33 tahun meletusnya G30S.
Ki Oetomo Darmadi (Swadesi, No 1541/Th XXX/Juli 1998) mengemukakan, "Sudah 33 tahun tragedi nasional, apa yang disebut G30S menjadi ganjalan sejarah. Sudah seyogianya di era reformasi sekarang misteri tersebut disingkap secara transparan, jujur terbuka".
"Mengapa, ini penting sebagai pelajaran sejarah, betapa dahsyatnya akibat-akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Antara lain bangsa ini terbelah menjadi dua: Orde Lama dan Orde Baru, dengan implikasi luas pada sektor kehidupan sosial, politik, ekonomi dan pertahanan keamanan. Terlebih-lebih jika ditilik dari hak dasar azasi manusia (HAM) hampir seluruh Deklarasi HAM PBB (10 Des 1948) dilanggar. Pancasila hanya dijadikan lips-service, dan hampir semua hak warga sipil yang termaktub dalam batang tubuh UUD 45 dinodai. Terlalu banyak lembar catatan keganasan rezim Soeharto selama 32 tahun berkuasa, sehingga ada yang menjuluki 'drakula', pembunuh berdarah dingin den sebagainya. Tidak mengherankan jika Indonesia ditempatkan sebagai pelanggar HAM terberat, sebab korban penubunuhan massal peristiwa G.30-S/PKI 1965 saja melampaui korban Perang Dunia II."
Sesungguhnya sudah lama dituntut supaya misteri G30S yang sesungguhnya diungkap secara terbuka, jujur dan adil. Hanya saJa tuntutan semacam itu di masa Soeharto berkuasa suatu yang mustahil bisa dilaksanakan. Sebab dengan membuka misterinya, akan terbuka lah bahwa G3OS yang sesungguhnya ialah G30S/Soeharto, bukan G30S/PKI. Mari kita telusuri!
HUBUNGAN SOEHARTO DENGAN G30S
Hubungan Soeharto, terutama dengan Kolonel Latief, seorang tokoh G3OS, begitu akrab dan mesranya. Lepas dari persoalan apakah hubungan yang erat itu karena Soeharto yang menjadi bagian atau pimpinan G30S yang tersembunyi, atau karena kelihaian Soeharto memanfaatkan tokoh-tokoh G30S untuk mencapai tujuannya menjadi orang pertama di Indonesia.
Hubungannya itu dapat diketahui, ketika pada 28 September 1965, Kolonel Latief bersama isterinya berkunjung ke rumah Jenderal Soeharto di jalan H. Agus Salim. Menurut Kolonel Latief (Kolonel Latief: "Pembelaan sidang Mahmilti II Jawa Bagian Barat" 1978) maksud kunjungannya ialah guna menanyakan adanya info Dewan Jenderal, sekaligus melaporkan kepada beliau. "Oleh beliau justru memberitahukan kepada saya, bahwa sehari sebelum saya datang, ada seorang bekas anak buahnya berasal dari Yogyakarta, bernama Soebagiyo, memberitahukan tentang adanya info Dewan Jenderal AD yang akan mengadakan coup d'etat terhadap kekuasaan pemerintahan Presiden Soekarno. Tanggapan beliau akan diadakan penyelidikan".
Seterusnya Kolonel Latief mengemukakan bahwa 30 September 1965 (malam), ia berkunjung ke RSPAD untuk menjumpai Jenderal Soeharto, yang sedang menunggui putranya yang tersiram sup panas. Sambil menjenguk putrandanya itu, juga untuk melaporkan bahwa dini hari l Oktober l965 G30S akan melancarkan operasinya guna menggagalkan rencana kudeta yang hendak dijalankan Dewan Jenderal. Kunjungannya ke Jenderal Soeharto di RSPAD tersebut, adalah merupakan hasil kesepakatan dengan Kolonel Untung dan Brigjen Supardjo.
Seperti diketahui menurut Brigjen Supardjo (Tempo, 1 Oktober 1988) tanggal 16 September 1965 telah terbentuk gerakan tsb, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung. Kolonel Latief semula berkeberatan Letkol Untung menjadi pimpinannya dan meminta supaya gerakan dipimpin seorang jenderal. Tetapi karena Kamaruzzaman (Syam) memtahankan supaya tetap Untung, karena ia pengawal presiden, maka akhirnya Letnan Kolonel Untung yang memimpinnya.
Kamaruzzaman ini menurut Wertheim (Wertheim: "Sejarah tahun 1965 yang tersembunyi" dalam Suplemen Arah, No 1 th 1990) adalah "seorang double agent". Yang dimaksud "double agent" Wertheim ialah agennya Aidit (dalam Biro Khusus) dan agen Soeharto (yang diuntungkan oleh Peristiwa G30S).
Sesungguhnya G30S tak akan bisa melancarkan operasi militernya dini hari l Oktober 1965 itu, sekiranya Jenderal Soeharto mencegahnya dan bukan membiarkannya. Tampaknya karena Soeharto berkepentingan agar Men/Pangad A. Yani terbunuh, maka dengan diam-diam direstuinya operasi militer G30S yang hendak dilancarkan itu. Jika Soeharto tidak berkepentingan terbunuhnya A. Yani, tentu rencana operasi G30S itu akan dicegahnya, atau langsung saja Kolonel Latief ditangkapnya, atau rencana G30S itu dilaporkannya kepada atasannya, misalnya kepada Jenderal Nasution. Dengan demikian operasi G30S itu gagal.
Bagi Kolonel Latief dengan tidak ada pencegahan dari Jenderal Soeharto, berarti Jenderal Soeharto merestuinya dan operasi G30S dini hari l Oktober dilaksanakannya.
Soeharto merestui operasi G30S itu secara diam-diam, karena ia mengetahui ada sebuah konsensus dalam TNI-AD bahwa bila Pangad berhalangan, otomatis Panglima Kostrad yang menjadi penggantinya. Dan Panglima Kostrad ketika itu adalah dirinya sendiri.
MALING BERTERIAK MALING
Paginya (pukul 6.30), dengan dalih ia mendapat informasi dari tetangganya, Mashuri, bahwa Jendral A. Yani dan beberapa jenderal lain telah terbunuh, Soeharto dengan Toyotanya, sendirian (tanpa pengawal) berahgkat ke Kostrad. Melalui Kebun Sirih, Merdeka Selatan. Soeharto sudah tahu benar siapa sasaran G30S.
Sejalan dengan laporan yang disampaikan Kolonel Latief kepada Jenderal Soeharto di RSPAD malam itu, maka daerah, dimana markas Kostrad terletak, tidak diawasi atau dijaga pasukan G30S. Yang dijaga hanya daerah lain saja di Merdeka Selatan. Ini menjadi indikasi adanya saling pengertian antara G30S dengan Panglima Kostrad. Jika tidak ada saling pengertian, tentu daerah di mana Markas Kostrad berada juga akan dijaga pasukan G30S.
Menurut Yoga Sugama (Yoga Sugama: "Memori Jenderal Yoga" [hal: 148-153]) pada pagi 1 Oktober 1965 itu, dirinyalah yang pertama tiba di Kostrad. Kepada Ali Murtopo, Yoga Sugama memastikan bahwa yang melancarkan gerakan penculikan dini hari tersebut, adalah anasir-anasir PKI. Ali Murtopo tidak begitu saja mau menerima keterangan Yoga Sugama tersebut.
Setelah ada siaran RRI pukul 7.20, yang mengatakan telah terbentuk Dewan Revolusi yang diketuai Kolonel Untung, maka Yoga Sugama memperkuat kesimpulannya di atas. Sebab Yoga Sugama kenal Untung sebagai salah seorang perwira TNI-AD yang berhaluan kiri. Untung pernah menjadi anak buahnya ketika RTP II bertugas menumpas PRRI di Sumatera Barat.
Jenderal Soeharto juga bertanya kepada Yoga Sugama, "Apa kira-kira Presiden Soekarno terlibat dalam gerakan ini." Yoga Sugama dengan tegas menjawab "Ya". Tuduhan Yoga Sugama bahwa dibelakang gerakan itu adalah anasir-anasir PKI dan Presiden Soekarno terlibat, tentu saja sangat membesarkan hati Soeharto. Karena dengan demikian rencananya untuk menghancurkan PKI dan menggulingkan Presiden Soekarno mendapat dukungan dari bawahannya.
Pada pukul jam 9.00 pagi itu Jenderal Soeharto (Tempo, 1 Oktober 1998) memberikan briefing. Dengan tegas ia mengatakan: "Saya banyak mengenal Untung sejak dulu. Dan Untung sendiri sejak 1945 merupakan anak didik tokoh PKI Pak Alimin". Ini tentu bualan Soeharto saja. Sebab Pak Alimin baru kembali ke Indonesia pertengahan tahun 1946. Bagaimana ia mendidik Untung sejak tahun 1945, padahal ketika itu Pak Alimin masih berada di daratan Tiongkok.
Tidak lah kebetulan Kamaruzzaman mempertahankan Kolonel Untung menjadi pimpinan G30S. Sudah diperhitungkannya, bahwa suatu ketika nama Untung tsb akan dapat digunakan sebagai senjata oleh Soeharto untuk menghancurkan PKI. Kamaruzzaman memang seorang misterius. Secara formal dia adalah orangnya Aidit (dalam BC). Sedang sesungguhnya dia adalah di pihak lawannya Aidit, dia bertugas menghancurkan PKI dari dalam.
Untuk itu lah maka Kamaruzzaman, seperti dikatakan Manai Sophian (Manai Sophiaan ("Kehormatan bagi yang berhak") membuat ketentuan bahwa persoalan yang akan disampaikan kepada Aidit, harus melalui dirinya. Banyak hal yang penting yang tak disampaikannya pada Aidit. Akibatnya setelah gerakan dimulai terjadilah kesimpangsiuran, penyimpangan yang merugikan Aidit/PKI.
Sesuai dengan rencananya, maka Soeharto (G.30-S pemberontakan PKI", Sekneg, 1994, hal 146, 47) pada 1 Oktober tersebut tanpa sepengetahuan, apalagi seizin Presiden/Pangti Soekarno mengangkat dirinya menjadi pimpinan TNI-AD. Padahal jabatan Panglima suatu angkatan, adalah jabatan politik. Itu merupakan hak prerogatif Presiden untuk menentukan siapa orangnya.
Dikesampingkannya hak prerogatif Presiden/Pangti ABRI tersebut, diakui Soeharto dalam 4 petunjuk kepada Presiden Soekarno yang harus disampaikan oleh Kolonel KKO Bambang Widjanarko yang berkunjung ke Kostrad 1 Oktober 1965 itu. Kedatangan Bambang Widjanarko adalah untuk memanggil Jenderal Pranoto Reksosamudro yang telah diangkat menjadi caretaker Menpangad sementara oleh Presiden, untuk datang ke Halim menemui Presiden Soekarno. Usaha Bambang Widjanarko untuk meminta Jenderal Pranoto Reksosamudro ke Halim itu dihalangi Soeharto. Empat petunjuk tersebut ialah:
1. Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro dan Mayjen TNI Umar Wirahadikusumah tidak dapat menghadap Presiden Soekarno untuk tidak menambah korban. (Ini berarti Soeharto menuduh Presiden Soekarno lah yang bertanggungjawab atas penculikan sejumlah jenderal dini hari 1 Oktober tersebut. Sesuai dengan jawaban Yoga Sugama kepadanya tentang keterlibatan Presiden Soekarno dalam G30S. Karena Ketua Dewan Revolusi adalah Kolonel Untung, pasukan pengawal Presiden Soekarno)
2. Mayjen TNI Soeharto untuk sementara telah mengambil oper pimpinan TNI-AD berdasarkan perintah Tetap Men/Pangad. (Ini berarti perintah tetap Men/Pangad, maksudnya konsensus dalam TNI-AD lebih tinggi dari hak prerogatif presiden dalam menentukan siapa yang harus memangku jabatan panglima suatu angkatan).
3. Diharapkan agar perintah-perintah Presiden Soekarno selanjutnya disampaikan melalui Mayjen TNI Soeharto. (Ini berarti Mayien TNI Soeharto yang mengatur Presiden Soekarno untuk berbuat ini atau itu, meski pun dibungkus dengan kata-kata "diharapkan". Semestinya Presiden yang mengatur Mayjen Soeharto, bukan sebaliknya. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI).
4. Mayjen TNI Soeharto memberi petunjuk kepada Kolonel KKO Bambang Widjanarko agar berusaha membawa Presiden Soekarno keluar dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, karena pasukan yang berada di bawah komando Kostrad akan membersihkan pasukan-pasukan pendukung G3OS yang berada di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah sebelum tengah malam 1 Oktober 1965. (Ini berarti Soeharto "memerintahkan" Soekarno meninggalkan Pangkalan Udara HPK, karena Halim akan diserbu. Padahal sebelumnya Presiden Soekarno telah memerintahkan kepada Brigjen Supardjo supaya menghentikan operasi militer G30S dan jangan bergerak tanpa perintahnya. Tampaknya perintah lisan Presiden/Pangti Soekarno demikian, dianggap tidak berlaku bagi dirinya. Malahan situasi itu digunakannya untuk "memukul" pasukan G30S.
Empat petunjuk Mayjen Soeharto kepada Presiden Soekarno melalui Kolonel KKO Bambang Widjanarko menunjukkan: dengan menggunakan G30S, Jenderal Soeharto mulai l Oktober 1965 secara de facto menjadi penguasa di Indonesia. Sebagai langkah awal untuk memegang kekuasaan de jure di Indonesia nantinya. Ya, maling berteriak maling. Dirinya yang kudeta, PKI yang dituduhnya melakukan pemberontakan.
BEN ANDERSON
Orang sering menjadi terkesima ketika membongkar-bongkar gudang yang bertimbun dan berdebu. Sementara iseng membolak-balik ratusan halaman fotokopi rekaman stenografis dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan Mahmilub, saya temukan dokumen-dokumen yang saya terjemahkan di bawah ini, yang aslinya merupakan lampiran-lampiran pada berkas sidang pengadilan itu.
Dokumen itu adalah laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima orang ahli kedokteran forensik, yang telah memeriksa mayat-mayat enam orang jendral (Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan), dan seorang letnan muda (Tendean) yang terbunuh pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965.
Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah kita miliki, tentang bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat kontroversi yang telah lama tentang masalah ini, dan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar dan majalah umum berlain-lainan, maka saya memandang perlu menerjemahkan dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya untuk kepentingan kalangan ilmiah.
Bagian atas setiap visum et repertum (otopsi) menunjukkan bahwa tim tersebut bekerja pada hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku Komandan KOSTRAD ketika itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Tim terdiri dari dua orang dokter tentara (termasuk Brigjen Roebono Kertopati yang terkenal itu), dan tiga orang sipil ahli kedokteran forensik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Di antara ketiga orang ini yang paling senior ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, ketika itu ahli paling terkemuka dalam kedokteran forensik di Indonesia. Tim bekerja sama selama 8 jam, yaitu dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober sampai 12.30 lewat tengah malam tanggal 5 Oktober, bertempat di Kamar Bedah RSPAD. Jelas mereka harus bekerja cepat, oleh karena dari berita-berita pers kita ketahui mayat-mayat itu baru bisa diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya (di mana para pembunuh telah melemparkannya) menjelang siang tanggal 4 Oktober, lebih 75 jam setelah pembunuhan terjadi.
Dalam jangka waktu itu, dalam iklim tropis bisa diperkirakan mayat sudah sangat membusuk. Dan sesudah hari siang, Selasa tanggal 5 Oktober, mayat-mayat itu dimakamkan dengan upacara militer di Taman Pahlawan Kalibata. Satu hal yang pasti patut diperhatikan. Mengingat bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung Mayjen Suharto, maka kiranya tidak akan mungkin jika laporan para dokter tersebut tidak segera disampaikan kepadanya, segera setelah tugas dilaksanakan.
Tujuh buah laporan itu masing-masing disusun menurut bentuk yang sama :
1.pernyataan adanya perintah Mayjen Suharto kepada lima orang ahli itu;
2.identifikasi atas mayat;
3.deskripsi tubuh, termasuk pakaian atau hiasan-hiasan badan;
4.uraian rinci tentang luka-luka;
5.kesimpulan tentang waktu dan penyebab kematian;
6.pernyataan di bawah sumpah dari kelima ahli itu,
7.bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan sepenuh-penuhnya dan sebagaimana
mestinya.
Karena gambaran umum tentang matinya tujuh tokok itu, kita, sebagaimana halnya masyarakat pembaca di Indonesia tahun 1965, harus banyak bersandar pada apa yang diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata danBeri ta
Yudha, serta dinas informasi ABRI yang memasok suratkabar-suratkabar tersebut.
Walaupun ada beberapa suratkabar non-militer yang tetap terbit, namun pers kiri telah ditindas pada petang hari tanggal 1 Oktober, sedangkan radio dan televisi yang dikuasai negara, dan telah ada di tangan militer sepenuhnya menjelang 1 Oktober, tidak mengudara.
Karena itu perlu diperbandingkan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar- suratkabar tentara tersebut, dengan ini laporan dari para ahli kedokteran yang ditunjuk militer yang selesai tersusun pada hari Selasa tanggal 5 Oktober, yang bisa kita simpulkan dari dokumen-dokumen lampiran itu.
Mengingat bahwasanya dua suratkabar tersebut adalah harian-harian pagi, sehingga edisi 5 Oktober mereka mungkin sudah "ditidurkan" sementara para dokter masih menyelesaikan pekerjaannya, maka tidak aneh bila pemberitaan mereka tentang hari itu barangkali tergesa-gesa, tanpa memanfaatkan informasi yang panjang lebar itu.
Angkatan Bersenjata memuat beberapa buah foto kabur mayat-mayat yang telah
membusuk, dan menggambarkan pembunuhan tersebut sebagai "perbuatan biadab
berupa penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan".
Berita Yudha yang selalu lebih garang, mengatakan bahwa mayat-mayat itu penuh dengan bekas-bekas penyiksaan. "Bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita." Mayjen Suharto sendiri dikutip menyatakan, "jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala (jenazah-jenazah itu), betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan 'Gerakan 30 September'".
Suratkabar itu meneruskan dengan menggambarkan saat-saat terakhir kehidupan Jendral Yani, mengatakan bahwa sesudah ditembak rubuh di rumahnya, ia dilemparkan hidup-hidup ke dalam sebuah truk dan terus menerus disiksa sampai "penyiksaan terakhirnya di Lubang Buaya." Bukti-bukti tentang penyiksaan ini ditunjukkan dengan adanya luka-luka pada leher dan mukanya, dan kenyataan bahwa "anggota-anggota tubuhnya tidak sempurna lagi".
Apa yang dimaksud oleh kata-kata yang agak kabur itu menjadi lebih jelas pada hari- hari berikut. Pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa "matanya (Yani) dicungkil". Berita ini dikuatkan dua hari kemudian olehBeri ta
Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu ditemukan terbungkus dalam
sehelai kain hitam.
Pada tanggal 7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata melukiskan lebih lanjut, tentang bagaimana Jendral Harjono dan Jendral Pandjaitan tewas oleh berondongan tembakan senjata api di rumah masing-masing, lalu mayat mereka dilempar ke dalam sebuah truk yang menghilang dalam kegelapan malam dengan "deru mesinnya yang seperti harimau haus darah". Sementara itu Berita Yudha memberitakan tentang bekas-bekas siksaan pada kedua tangan Harjono.
Pada tanggal 9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa meskipun muka dan kepala Jendral Suprapto telah dihancurkan oleh "penteror-penteror biadab", namun ciri-cirinya masih bisa dikenali. Pada Letnan Tendean terdapat luka-luka pisau pada dada kiri dan perut, lehernya digorok, dan kedua bola matanya "dicungkil".
Harian ini pada hari berikutnya mengutip saksi mata pengangkat mayat bulan Oktober itu, yang mengatakan bahwa di antara kurban beberapa ada yang matanya keluar, dan beberapa lainnya "ada yang dipotong kelaminnya dan banyak hal-hal lain yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan."
Pada tanggal 11 Oktober Angkatan Bersenjata menulis panjang lebar tentang matinya Tendean, dengan menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di Lubang Buaya, sesudah diserahkan kepada para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Ia dijadikan benda "permainan jahat" perempuan- perempuan ini, digunakan sebagai "bulan-bulanan sasaran latihan menembak sukwati Gerwani."
Prof. Dr. W.F. Wertheim
Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa tentang peristiwa 1965,
lebih dahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata
pelajaran saya sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri sebagai pembaca suatu
detective story yang cari pemecahan suatu teka-teki.
Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu di
Bogor. Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh lain dalam
pimpinan partai. Aidit menceritakan tentang kunjungannya ke RRC, baru itu; dari
orang lain saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit: "Kapan kamu akan
mundur ke daerah pedesaan?" Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam tahun 1964
saya terima kunjungan di Amsterdam dari tokon terkemuka lain dari PKI, Nyoto,
yang pada waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki.
Saya mengingatkannya bahwa keadaan di Indonesia pada saat itu mirip sekadarnya
kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun 1927, sebelum kup Ciang Kaisyek.
Pendapat saya ialah bahwa ada bahaya besar bahwa militer di Indonesia juga akan
merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan kera s supaya golongan kiri di
Indonesia mempersiapkan diri untuk perlawanan dibawah tanah, dan mundur ke
udik. Jawaban Nyoto ialah bahwa saat bagi militer untuk dapat rebut kekuasaan
sudah terlambat. PKI telah terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun dalam
badan bawahan tentara dan angkatan militer yang lain.
Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto. Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran
melalui radio tentang formasi Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De
Haas menelpon saya dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!" Saya menjawab:
"Awas, menurut saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober kami
dengar bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal kami namanya, telah berhasil
tangkap kekuasaan. De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan: "Saya takut
mungkin kemarin Anda benar!" Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari
kepala sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai
ahli politik tentang Indonesia, dan ia hendak mengetahui: "Apa yang sebenarnya
situasi politik di Indonesia sekarang?" Jawaban saya ialah: "Tentu Anda sebagai
orang Tionghoa dapat mengerti keadaan! Sangat mirip kepada yang terjadi di
Tiongkok dalam tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan dengan
tentaranya, dan komunis kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di
Canton (Guangzhou)". Ia tidak mau setuju. Di bulan Januari tahun 1966 saya
terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell Univesity
di A.S., suatu 'Laporan Sementara' tentang peristiwa September-Oktober di
Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah peristiwa itu benar suatu kup
komunis, seperti dikatakan oleh penguasa di Indonesia dan oleh dunia Barat.
Yang terima laporan itu, boleh memakai bahannya (begitu mereka tulis kepada
saya), tetapi untuk sementara tanpa menyebut sumbernya, oleh karena mereka
masih mencari bahan tambahan, dan meminta reaksi dan informasi lagi. Dengan
mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu, saya menulis suatu karangan yang
dimuat dalam mingguan Belanda "De Groene Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari
1966, dengan judul "Indonesia berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya:
mengapa di dunia Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di
Indonesia, kalau dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang kadang-kadang
jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali
alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah golongan kiri sendirilah yang
bersalah - apakah bukan mereka sendiri yang mengorganisir ku p 30 September dan
yang bersalah dalam pembunuhan 6 jendral itu?.
Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa-peristiwa
dan menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti tentang golongan PKI bersalah
dalam peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan menculik dan
membunuhi jenderal tidak mungkin berguna untuk PKI - jadi salah mereka tidak
masuk akal. Lagi hampir tidak ada persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi
situasi yang akan muncul sesudah kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut
kemiripan kepada peristiwa di Shanghai dalam tahun 1927, yang juga sebenarnya
ada kup dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam karangan di "Groene
Amsterdammer" itu: "Terminologi resmi di Indonesia masih adalah kiri, akan
tetapi jurusannya adalah kanan". Kemudian, dalam bulan Februari tahun '67,
Mingguan Perancis "Le Monde" mengumumkan wawancara den gan saya.
Dalam wawancara saya bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh
penting dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang
telah diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, bahwa mereka itu orang
komunis yang terkemuka.
Apa yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang
provokatir, yang pakai nama palsu?" Mencolok mata bahwa beberapa minggu sesudah
wawancaranya itu ada berita dari Indonesia bahwa Sjam, yang namanya sebenarnya
Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda, pagi jam 7.
Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang Double agent! Saya ingin dengar lagi
siaran jam 8 diulangi bahwa Sjam ditangkap, tetapi kali ini TIDAK ditambah
bahwa ia double agent! Rupanya dari kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah
itu jangan dipakai! Tetapi saya dapat Sinar Harapan dari 13 Maret '67, dan di
sana ada cerita tentang cara Sjam itu ditangkap. Dan judul berita itu: "Apakah
Sjam double agent?" Tetapi sesudahnya di pers Indonesia istilah double agent
itu tidak pernah diulangi lagi. Dalam semua p roses di mana Sjam muncul sebagai
saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis yang
sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu MENGAKU bahwa dia yang
memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia selalu tambah bahwa
yang sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang juga ada pada hari itu di
Halim, dan yang sebenarnya menurut Sjam dalang dibelakang segala yang terjadi.
Tentu Aidit tidak dapat membela diri dan membantah segala bohong dari Sjam,
oleh karena ia dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu proses, ditembak
mati oleh Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti Njoto
dan Lukman, tidak dapat membela diri di pengadilan.
Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam
menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak mendapat
kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan:
ia dipaksa untuk mencoret bagian tentang hal itu dari pleidoinya! Waktu Sjam
kedapatan sebagai double agent yang sebagai militer masuk kedalam PKI untuk
mengintai, saya mulai menduga pula bahwa Soeharto sendiri mungkin terlibat
dalam permainan-munafik. Pada tanggal 8 April 1967 di mingguan "De Nieuwe
Linie" dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam wawancara ini saya telah
menyebut kemungkinan bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965 adalah satu provokasi dari
kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Soehartolah yang paling
memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begitu: "Aneh sekal i: kalau
semua itu akan terjadi di suatu cerita detektif, segala tanda akan menuju
kepada dia, Soeharto, paling sedikit sebagai orang yang sebelumnya telah punya
informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa 65, Soeharto turut menghadiri
pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen.
Untung dahulu menjadi orang bawahan Soeharto di tentara. Lagi, dalam bulan
Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu dengan Jenderal Supardjo, di
Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main peranan yang utama
dalam komplotan. Aneh lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan
malahan KOSTRAD tidak diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun
letaknya di Medan Merdeka dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua
militer mengetahui bahwa kalau Yani tidak di Jakarta atau sakit, Soehartolah
sebagai jenderal senior yang menggantikannya. Aneh juga bahwa Soeharto
bertindak secara sangat efisien untuk menginjak pemberontakan, sedangkan grup
Untung dan kawannya semua bingung." Wawancara itu saya akhiri dengan
mengatakan: "Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan sukar daripada detective-story".
Begitulah pendapat saya di tahun 1967. Tetapi dalam tahun 1970 terbit buku
Arnold Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner; judulnya "The Communist
Collapse in Indonesia". Di halaman 100 Brackman menceritakan isi suatu
wawancara dengan Soeharto, agaknya dalam tahun 1968 atau 1969, tentang suatu
pertemuan Soeharto dengan Kolonel Latief, tokoh yang ketiga dari pimpinan kup
tahun 65. Isinya: "Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya
3 tahun, dapat celaka di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami dengan
buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit. Banyak teman menjenguk anak
saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga berada di rumah sakit. Lucu
juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit
malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu at as
keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian
yang sesudahnya. Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit
bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan sebenarnya UNTUK MENCEK SAYA. Ia
hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan ia dapat memastikan bahwa saya
akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya tetap di rumah sakit
sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah". Begitulah kutipan
dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan Soeharto. Untuk saya pengakuan
ini dari Soeharto, bahwa ia bertemu dengan Kolonel Latief kira-kira empat jam
sebelum aksi terhadap 7 jenderal mulai, sungguh merupakan 'rantai yang hilang'
- the missing link dalam detective storyy. Hal ini dengan jelas membuktikan
hubungan Soeharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965.
Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit Militer, 3
atau 4 jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 jenderal mulai, maksudnya
untuk menceritakan pada Soeharto tentang rencana mereka - tetapi sukar
membuktikan itu selama Soeharto berkuasa, dan Latief dalam situasi orang
tahanan. Hanya satu hal yang kurang terang. Mengapa Soeharto menceritakan pada
Brackman tentang pertemuan ini? Agaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan
Latief ke rumah sakit.
LETKOL SUKITMAN
Jakarta: Yayasan Sukitman, 2006. Djanwar. Mengungkap Pengkhianatan/Pemberontakan G30S/PKI 30 September Partai Komunis Indonesia: G.30.S/PKI. Jenderal yang Masih Hidup
Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando Tempo berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol BIOGRAF LEKTOL UNTUNG/PEMIMPIN GERAKAN G-30 S/PKI (8)Selain Kahar, pemberontakan lain yang latar belakang perjalanan hidup sejarah kahar muzakkar, tanya saksi Saksi Peristiwa G 30/S PKI, Sukitman Meninggal Dunia
1, G 30 S PKI merupakan bikinan PKI sendiri saya yang sampai saat ini masih hidup dan menjadi saksi hidup mulai dari zaman penjajahan belanda, jepang pemberontakan PKI
dipergunjingkan tentang tragedi G 30/S/PKI Letkol Untung didalangi oleh PKI. Ia menganggap hal ini sebagai sebuah pemberontakan. dilakukan Soeharto agar saksi-saksi silam di Jakarta, tepatnya tentang peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI dunia, maka kini hanya tertinggal satu lagi saksi kisah ini, Jendral M Yusuf masih hidup, maka ia 0 Layout A5 Bookfold Peristiwa PKI Total Zlf The Princeton Review's Guide to From: USAToday. Reads: 4,053
42 tahun silam di Jakarta, tepatnya tentang peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI. ini ditarik dari peredaran dan hingga kini gak ada saksi mata yang masih hidup hanya Watch Live Streaming Video wawancara Saksi hidup G30S PKI. Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha Kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia. Watch Live Streaming Video wawancara Saksi hidup G30S PKI – H. Sukitman. Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu. Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha Kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Watch Live Streaming Video wawancara Saksi hidup G30S PKI – H. Sukitman, Watch Live Streaming Video wawancara Saksi hidup G30S PKI – H. Sukitman. Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha Kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.Pada malam peristiwa kejadian penculikan para jendral tersebut menurut Sukitman(mantan anggota Komres VIII) saksi mata yang menyaksikan dan mengalami langsung kejadian tersebut pada buku yang berjudul “Kesaksian Sukitman Penemu Sumur Lubang Di dalam merebut Lanud Halim terdapat beberapa versi ada yang mengatakan telah terjadi konspirasi antara AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) dan PKI , AURI dianggap telah mendukung gerakan G30S/PKI mereka disinyalir telah
Jakarta: Yayasan Sukitman, 2006. Djanwar. Mengungkap Pengkhianatan/Pemberontakan G30S/PKI dalam Rangka Mengamankan Pancasila dan UUD 1945. Bandung: Yrama, 1986. Fic, Victor M. Anatomy of the Jakarta Coup: October 1, 1965: The Collusion . from prison by the now-defunct magazine D&R, “Wawancara Serma Boengkoes: Tahu-Tahu Jenderal yang Masih Hidup Digandeng,” (12-17 April 1999), and by the newspaper Kompas: “Saya Menyesal Mayjen M.T. Haryono Tertembak,” (30 Maret 1999). Jakarta: Yayasan Sukitman, 2006. Djanwar. Mengungkap Pengkhianatan/Pemberontakan G30S/PKI dalam Rangka Mengamankan Pancasila dan UUD 1945. Bandung: Yrama, 1986. Fic, Victor M. Anatomy of the Jakarta Coup: October 1, . after his release from prison by the now-defunct magazine D&R, “Wawancara Serma Boengkoes: Tahu-Tahu Jenderal yang Masih Hidup Digandeng,” (12-17 April 1999), and by the newspaper Kompas: “Saya Menyesal Mayjen MT Haryono Tertembak,” (30 Maret 1999).
Buat apa kalian semua hidup di dalam Bus yang penuh pelacur ini? Bukankah kalian semua orang-orang bersih dan suci? Larilah, karena semua tempat sudah terkepung pelacur, selagi bisa, minum air ini secepat mungkin. Aku, manusia berhati sampah, yang menghilang di taman getsemani pada sebuah pemberontakan yang di dalangi DN. Aidit dan PKI, aku, manusia berhati sampah yang menghilang ketika kerusuhan '98 tersulut dan menciptakan ribuan daging panggang yang dipesan Senin, 30 Juli 2007,. Oleh Asvi Warman Adam. Pada 30 Juli 2007 (hari ini) pukul 10 pagi di Gedung Joang, Jakarta, buku. Harry Poeze “Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, De linkse Beweging en. Indonesische Revolutien 1945-1949″ (Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam Naar de Republiek Indonesia (Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925).